Jumat, 12 Februari 2016

Sejarah Tradisi Kenduri di Indonesia



Sejarah Kenduri di Indonesia

                                               *) sumber gambar google.

       Setiap kali suatu agama datang pada suatu daerah, maka mau tidak mau, agar agama tersebut dapat diterima masyarakatnya secara baik, penyampaian materi dan ajaran agama tersebut harus menyesuaikan diri dengan beberapa aspek lokal, sekiranya tidak bertentangan secara diametris dengan ajaran subtantif agama tersebut. Demikianlah pula dengan kehadiran Islam di Jawa, sejak awalnya, Islam begitu mudah diterima, karena para pendakwahnya menyampaikan Islam secara harmonis, yaitu merengkuh tradisi yang baik sebagai bagian dari ajaran agama Islam sehingga masyarakat merasa “ngeh” atau “enjoy” menerima Islam menjadi agamanya.[1]
       Umumnya para pendakwah Islam dapat menyikapi tradisi lokal, yang dipadukan menjadi bagian tradisi yang “islami”. Sehingga apa yang disebut sebagai ritual dan tradisi kenduri kelahiran, pernikahan, dan kematian merupakan tradisi berbentuk asimilasi antara budaya Jawa dengan budaya Islam.
       Upacara kenduri yang biasa dilakukan oleh orang Jawa ini merupakan fenomena yang tidak dapat dilepaskan dengan akar sejarah kepercayaan-kepercayaan yang pernah dianut oleh orang Jawa itu sendiri, karena upacara kenduri sudah mendarah daging hingga sekarang. Masyarakat Jawa melaksanakan kenduri dimaksudkan untuk memperoleh keselamatan bagi masyarakat Jawa itu sendiri. Kenduri pada mulanya bersumber dari kepercayaan animisme-dinamisme.[2]
       Sejarah awal tradisi kenduri memang masih sangat kabur. Hal ini atas dasar karena kurangnya sumber-sumber terpercaya, yang mencatat secara jelas. Selain itu juga dikarenakan proses transisi dan konversi penduduk Jawa ke Islam bersifat gradual, tidak merata, dan terus berlangsung hingga kini. Oleh sebab itu perlu terlebih dahulu menelusuri tentang asal-muasal dan persebaran Islam di Jawa itu sendiri.
       Sadar akan kekurangan catatan-catatan sejarah yang rinci, maka rekonstruksi menyandarkan diri pada perbandingan teks-teks Jawa, Sumatera, India, Persia, dan Arab. Dari sumber-sumber tersebut dan sumber yang berkaitan dengan perdagangan rempah-rempah memungkinkan didapat dua sumber untuk tradisi-tradisi Islam Jawa yaitu komunitas Muslim India Selatan khususnya Kerala dan kerajaan-kerajaan Dekkan India Utara. Signifikasinya, Kerala dipengaruhi oleh tradisi Arab, sementara Dekkan didominasi oleh orde keagamaan Indo-Persia. Kebudayaan Islam Jawa menggabungkan kedua tradisi tersebut. Unsur-unsur Islam Jawa, termasuk arsitek masjid dan tradisi fiqh Syafi’i datang dari Kerala, sementara teori kerajawian, aspek ritual keraton dan mistik dibentuk oleh tradisi dari Indo-Persia.[3]
       Kerala merupakan sumber utama lada; tempat penyaluran yang penting dalam hubungan dagang Arab dengan India, Asia Tenggara, dan Cina dan menjadi tempat pendaratan pertama di India bagi orang-orang Arab Selatan. Sumber utama sejarah Muslim Kerala awal adalah catatan-catatan petualang Arab abad ke-15, Ibnu Batutah. Ia mencatat kebanyakan muslim di Kerala berasal dari Arab dan kawasan Teluk Persia, mereka menganut madzhab Syafi’i. Kerala adalah tempat bagi persinggahan pedagang dari Sumatera, Malaya, dan Cina. Menurut Dale (1980 : 26), bahkan pada awal dekade abad ke-20 corak perdagangan dan kebudayaan Kerala lebih dekat berhubungan dengan Arab dan Asia Tenggara dari pada bagian Islam India lainnya yang bercorak Indo-Persia.[4]
       Kekuatan hubungan dagang dan hukum ini menunjukkan salah satu sumber islamisasi di Jawa dan bagian Indonesia lainnya. Selain itu secara geografis Kerala terbentang langsung antara Mekkah dan Asia Selatan yang menjadikannya tempat persinggahan paling logis bagi para pedagang dan peziarah. Masyarakat Kerala mempunyai jalinan keagamaan, bahasa, dan kebudayaan yang sangaat kuat dengan Arabia Selatan. Atas dasar tersebut tradisi Islam Jawa jelas merujuk pada Yaman Selatan sebagai sumber kesarjanaan hukum Islam. Hal ini dapat di lihat dari beberapa persamaan di antara keduanya baik arsitektur bangunan masjid, tradisi, dan sosial kemasyarakatan. Kesamaan arsitektur masjid di Kerala, Jawa, dan Lombok dimana masjid banyak terbuat dari kayu dan mempunyai atap bersusun tiga. Masjid Agung Demak, masjid-masjid di Kota Gede (Mataram) dan Imogiri adalah contoh masjid yang mengikuti pola ini.
       Organisasi sosial dan keagamaan masyarakat Muslim Kerala dan santri Jawa tradisional sangat mirip. Kedua masyarakat tersebut sama-sama berorientasi pada ulama (ulama-centric). Sistem madrasah di Kerala baik subjek persoalan maupun cara mengajarnya sangat mirip dengan pola pendidikan pesantren di Jawa.
       Ada juga kesamaan-kesamaan ritual. Ritual inti kedua komunitas tersebut adalah sholat lima waktu, puasa Ramadhan, ziarah ke makam keramat, membaca Al-Qur’an, dan hidangan ritual yang mempersembahkan makanan yang kemudian dibagi-bagikan ke semua laki-laki anggota komunitas tersebut. Di Jawa ritus ini disebut slametan dan di Kerala disebut nercha. Bentuk-bentuk makanan yang dihidangkan dalam kedua ritus tersebut sama. Serabi dari tepung beras (Jawa., apem; Kerala., appam) yang dihidangkan dan dibagikan atas nama ruh pelindung kedua masyarakat tersebut.[5]
       Peran tradisi Persia juga sangat mempengaruhi perkembangan tradisi Islam di Jawa. Tradisi literer, mistik, dan ritual Persia masuk ke Jawa melalui Dekkan. Snouck Hurgronje menunjukkan kekuatan pengaruh Dekkan dalam tradisi ritual Indonesia, khususnya Maulud (A., Mawlid al-nabi), peringatan Muharram, yang berasal dari madzhab Syi’ah, namun dijalankan secara luas oleh kalangan Muslim Sunni di Asia Selatan dan Tenggara.[6] Hal ini dapat dilihat di Keraton Yogyakarta yang sampai saat ini kedua tradisi tersebut masih tetap dirayakan besar-besaran.
       Menurut pengamat budaya dan sejarah Agus Sunyoto menegaskan bahwa budaya kenduri yang dilakukan umat Islam di Nusantara, khususnya di tanah Jawa bukan karena pengaruh Hindu atau Budha karena di kedua agama itu tidak ditemukan ajaran kenduri. Ia mengemukakan bahwa catatan sejarah menunjukkan orang Campa memperingati kematian seseorang pada hari ketiga, ketujuh, ke-40, ke-100 dan ke-1.000. Orang-orang Campa juga menjalankan peringatan khaul, peringatan hari Assyuro dan maulid Nabi Muhammad SAW. Menurutnya, istilah kenduri itu sendiri menunjuk kepada pengaruh Syi`ah karena dipungut dari bahasa Persia, yakni Kanduri yang berarti upacara makan-makan memperingati Fatimah Az Zahroh, puteri Nabi Muhammad SAW.[7]
       Senada dengan Agus Sunyoto, Muhammad Sholikhin dalam bukunya Ritual dan Tradisi Islam Jawa juga menjelaskan bahwa kenduri berasal dari bahasa Persia “kanduri” yang maksudnya adalah pesta makan setelah berdoa kepada Allah. Kalau di Persia (Iran) konteksnya adalah makan-makan setelah mendoakan putri Nabi Muhammad, Sayyidatina Fathimah al-Zahra.[8]
       Sedangkan di Jawa, kenduri dimulai sejak masa Sunan Ampel dan diteruskan oleh Sunan Bonang. Upacara dan ritual kenduri ini sebagai solusi dari upacara sejenis yang telah ada sebelumnya. Menu utamanya daging (mamsa), ikan (matsya), minuman keras (madya), persetubuhan bebas (maithuna) dan samadhi (mudra), yang dikenal dengan upacara malima (pancamakara), yang dilaksanakan di tanah lapang (ksetra) serta bertelanjang bulat. Oleh sunan Ampel dan Sunan Bonang acara tersebut diislamkan, posisi lingkaran tetap, hidangannya diganti nasi tumpeng, daging ayam, ikan, dan minuman teh manis (dari legen kelapa atau air aren). Upacara tersebut pada mulanya dilaksanakan oleh aliran Biarawa-Tantra, yang salah satu penganutnya Raja Adityawarman (Moens, 1924).[9]
       Tentu pertimbangan Sunan Ampel dan para wali di tanah Jawa dalam melaksanakan kenduri bukan sekedar sebagai ganti dari upacara pancamakara, namun juga karena pertimbangan bahwa ritual tersebut pernah dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sunan Ampel sendiri adalah keturunan dari Maulana Ishak dari Persia, dimana ritual kenduri sudah menjadi tradisi keagamaan yang cukup kuat, dan kemudian disebarkan di Campa (Vietnam Selatan), yang selanjutnya menyebar ke tanah Jawa disebarluaskan oleh Sunan Ampel dan wali yang lain.


        [1]  Muhammad Sholikhin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa,.... hlm. 19.
       [2]  Budiono Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa, (Jogjakarta: Hanindita Graha Widia, 2005), hlm. 25.

       [3]  Mark R. Woodward, Islam Jawa : Kesalehan Normatif versus Kebatinan. Terj. Hairus Salim HS, (Yogyakarta : LKiS, 2008), hlm. 85.
       [4]  Ibid, .... hlm. 86.
       [5]   Ibid, ...., hlm. 88-89.
       [6]   Ibid, ...., hlm. 90.
       [7] Ruslan Burhani, “Kenduri Kematian bukan Pengaruh Hindu Budha”, dalam  http://www.antaranews.com, diakses pada hari Senin 18 Januari 2016.
       [8]  Muhammad Sholikhin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa,.... hlm. 63.
       [9]  Ibid, ...., hlm. 65.