Jumat, 06 Juli 2012

KAPITAYAN : KEPERCAYAAN MASYARAKAT NUSANTARA KUNO

Kapitayan adalah keyakinan yang dianut masyarakat kuno Nusantara yaitu ras kulit hitam (Proto Melanesia) semenjak era Paleolithikum, Messolithikum, Neolithikum, Megalithikum, yang berlanjut pada era perunggu dan besi. Jauh sebelum datangnya pengaruh kebudayaan Indus dan kebudayaan Cina pada awal abad masehi.
Dalam keyakinan penganut Kapitayan, leluhur yang pertama kali sebagai penyebar Kapitayan adalah Dang Hyang Semar putera Sang Hyang Wungkuham keturunan Sang Hyang Ismaya. Yang mengungsi ke Nusantara bersama saudaranya Sang Hantaga (Togog) akibat banjir besar di Negara asalnya dan akhirnya Semar tinggal di Jawa dan Togog di luar Jawa. Sedangkan saudaranya yang lain yaitu Sang Hyang Manikmaya, menjadi penguasa alam ghaib kediaman para leluhur yang disebut Ka-Hyang-an.
Secara sederhana, Kapitayan ini digambarkan sebagai suatu keyakinan yang memuja sesembahan utama yang disebut Sang Hyang Taya, yang berarti kosong, hampa, suwung. Taya sendiri juga bermakna Yang Absolut, tidak bisa di apa apakan, tidak bisa dipikirkan apalagi dibayangkan. Orang jawa kuno mengungkapkan dengan istilah “tan keno kinoyo ngopo”.Oleh karena itu, agar bisa dikenal oleh manusia.
Manusia mengenal-Nya melalui pengejawantahan kekuatan dan kekuasaan-Nya di alam ini sebagai Pribadi Ilahi yang menjadi Sumber segala sumber kehidupan yang tergelar di alam semesta, yakni Pribadi Ilahi yang memiliki Nama dan Sifat sebagai pengenal keberadaan diri-Nya yang mengejewantah dalam Pribadi Ilahi yang disebut Tu atau To.  
Tu atau To adalah pengejawantahan Sanghyang Taya sebagai Pribadi Ilahi yang secara samar2 sudah bisa diketahui dan dikenal baik sifat maupun nama-Nya. Tu, Pribadi Ilahi, meski Tunggal, Dia memiliki dua sifat yang berbeda seibarat telapak tangan yang putih dan punggung tangan yang hitam.
Yang pertama adalah sifat Tu yang baik, yaitu yang mendatangkan kebaikan, kemuliaan, kemakmuran dan keselamatan kepada manusia. Tu itulah yang dikenal dengan nama Tu-han. Sifat Tu yang baik, yaitu Tu-han, itulah yang dikenal dengan nama Sanghyang Tunggal (Maha Esa), satu Pribadi Ilahi yang selain memiliki nama dan sifat Tunggal juga memiliki nama dan sifat Wenang (Mahakuasa).
Yang kedua adalah sifat Tu atau To yang tidak baik, yaitu yang mendatangkan kejahatan, kehinaan, kenistaan, kesesatan dan kebinasaan. Tu itulah yang dikenal dengan nama han-Tu. Sifat Tu yang tidak baik, yaitu han-Tu, itulah yang disebut debngan nama sanghyang Manikmaya (jawa kuno : permata khayalan). Sanghyang Manikmaya, Pribadi Ilahi yang hanya diketahui nama dan sifat-Nya itu, tak berbeda dengan Sanghyang Tunggal, yakni memilki nama dan sifat Wenang (mahakuasa).
(Berarti Sanghyang Tunggal yang memiliki nama dan sifat Wenang adalah pengejawantahan Tu-han yang Mahakuasa memberi petunjuk kepada mahkluk-Nya (al-Hadi atau yang Maha Pemberi Petunjuk dalam Islam) dan Sanghyang Manikmaya yang juga memiliki nama dan sifat Wenang adalah pengejawantahan han-Tu, yang Mahakuasa juga untuk menyesatkan mahkluk-Nya. (al-Mudhil atau Yang Maha Menyesatkan dalam Islam).
Dalam ajaran Kapitayan, memuja Sanghyang Taya melalui Sanghyang Tunggal maupun Sanghyang Manikmaya pada hakikatnya sama saja. Yang berbeda hanya jalannya saja. Jika memuja Sanghyang Tunggal maka kita hanya melewati satu jalan lurus di dalam menuju Sanghyang Taya (monoteis). Sebaliknya, jika kita memuja Sanghyang Manikmaya maka kita akan melewati banyak jalan untuk menuju Sanghyang Taya (politeis).
Memuja dan menyembah Sanghyang Taya melalui Tu dilakukan dengan dua cara yang berbeda. Yang pertama, memuja dan menyembah Pribadi ilahi yang disebut Sanghyang Tunggal (Tu-han) memalui sarana bantu sesuatu yang kasatmata seperti wa-Tu (batu), Tu-gu, Tu-lang, un-Tu, Tu-nda (punden berundak/bangunan bertinggkat), Tu-nggal, Tu-ban (mata air), To-peng, dll.
Dalam praktek pemujaannya penganut Kapitayan menyediakan sesaji berupa Tu-mpeng, Tu-ak, Tu-kung (sejenis ayam) untuk dipersembahkan kepada Sang Hyang Tunggal yang bersemayam di benda-benda seperti wa-Tu dan ‘teman-temannya’ tadi.
Yang kedua, untuk memuja dan menyembah Pribadi Ilahi yang disebut Sanghyang Manikmaya (han-Tu) dengan sarana bantu berbagai benda kasat mata seperti wa-Tu, Tu-gu, un-Tu, pin-Tu, Tu-lang, Tu-nggul (bendera), Tu-mbak, Tu-lup (sumpit), Tu-nggak (tonggak), Tu-rumbuhan (beringin), Tu-ban (air terjun), Tu-k (mata air), To-peng, To-san (pusaka), To-pong (mahkota), To-parem (baju rompi), To-wok (lembing), To-ya (air), dengan sesaji2 berupa Tu-mpeng, Tu-d (bunga pisang), dan Tu-mbu (tempat sesaji dari anyaman bambu).
Itu sebabnya, manusia yang sudah dilimpahi kekuatan dan kekuasaan oleh Sanghyang Taya melalui Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Manikmaya akan memliki kekuatan gaib yang memancarkan kekuatan dan kekuasaan Ilahiah dari dalam dirinya. Jika kekuatan dan kekuasaan gaib pada manusia itu bersifat memberkati, melindungi, mengayomi, dan menyelamatkan disebut dengan Tu-ah. Sebaliknya jika kekuatan dan kekuasaan gaib pada manusia itu bersifat mnghukum, mengutuk, mendatangkan bencana dan membinasakan disebut dengan nama Tu-lah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar