KRITIK NOVEL
“BUMI SRIWIJAYA”
Karya
: Bagus Dilla
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menjunjung tinggi sejarang.
Ungkapan itu tepat kiranya jika ditujukan kepada Bagus Dilla atas buah karyanya
berupa buku bernuansa sejarah yang dituangkan dalam bentuk novel berjudul “Bumi
Sriwijaya”.
Jika dilihat dari latar belakang penulis yang lulusan pesantren,
menunjukkan keluasan wawasan dari penulis. Bagaimana tidak, Kerajaan Sriwijaya
yang berlatar belakang agama Hindu-Budha dapat disuguhkan dengan luwes oleh
penulis yang berlatar belakang pesantren (Islam .red). Bahasanya sangat bagus
apalagi dipadukan dengan istilah-istilah dalam bahasa pallawa.
Secara singkat novel ini bercerita tentang awal mula kerajaan
Sriwijaya yang dimulai oleh kerajaan kecil bernama kerajaan Langkapura ( Pulau
berawa di dekat Palembang ) dengan rajanya Raja Angsuman. Dalam perkembangannya
kerajaan Langkapura berubah menjadi kerajaan Amartapura setelah kepemimpinan
berada di Raja Muda Wiryacarya anak dari Raja Angsuman. Di tangan Sri Paduka
Maharaja Jagadhita (gelar Raja Muda Wiryacarya) kerajaan Amartapura berkembang
pesat hingga seluruh bumi Samantara (Sumatera). Sedangkan nama Sriwijaya baru
dipakai setelah Yuwaraja Dapunta (anak Maharaja Jagadhita denga Putri Niah) naik
menjadi putra mahkota. Arti Sriwijaya itu sendiri adalah Sri berarti
sinar atau cahaya dan wujaya berarti terang, cemerlang atau gemilang.
Maksunya menjadikan Bumi Samantara berjaya di bawah kekuasaan Sriwijaya.
Di dalam kata pengantar penulis yang mengatakan “...lebih mementingkan isi
daripada bentuk.” maka ini lah yang saya ingin kritisi. Menurut saya novel
berjudul Bumi Sriwijaya isinya tidak menggambarkan secara utuh mengenai Bumi
Sriwijaya itu. Sebagaimana kita ketahui bahwa Sriwijaya merupakan imperium
besar di Nusantara yang membuatnya disegani di seluruh dunia, luasnya daerah
kekuasaan hampir seluruh Nusantara dan raja-raja yang amat perkasa. Namun dalam
novel ini hanya disuguhkan mengenai cikal bakalnya saja, nama Sriwijiaya baru
disebut dalam pertengahan novel dan itu juga hanya dalam ungkapan cita-cita. Dan
dalam novel ini lebih menitik beratkan pada sepak terjang Maharaja Jagadhita. Maka
menurut saya ini belum menjelaskan “Bumi Sriwijaya” secara utuh.
Dalam akhir cerita, pembaca hanya disuguhi tentang pertarungan
perebutan kekuasaan antara Dapunta sebagai pewaris tahta secara sah dengan
saudaranya Rajakumara yang merasa tidak terima dengan pengukuhan Dapunta
sebagai putra mahkota, pertarungan ini dimenangkan oleh Dapunta. Tidak
diceritakan lagi bagaimana sepak terjang Dapunta dalam memerintah di bumi
Samantara. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa istilah Sriwijaya dinisbahkan
kepada Putra Mahkota Dapunta maka akan lebih baik jika Bumi Sriwijaya juga menceritakan
tentang sepak terjang Dapunta setelah benar-benar menjadi raja di Sriwijaya.
Kesesuaian judul dengan isi novel akan lebih menjadikan novel ini berbobot.
Dalam penulisan ceritanya, penulis (Bagus Dilla) juga melakukan
keteledoran. Semisal pada Bab 57. Puncak Himalaya; Dapunta dalam perjalanan
mencari bunga cempaka ungu di puncak Himalaya atas permintaan Putri
Sobakancana. Di Halaman 361, pada paragraf 5, ada raksasa mengendap-endap
memperhatikannya. Paragraf 6, raksasa berkata “....Aku dapat memakan dagingnya.
Hmm...pasti enak dan menggairahkan...” dan gumaman yang lain dari sang raksasa
dijelaskan di paragraf selanjutnya. Tentu gumaman sang raksasa ditujukan kepada
pembaca untuk menggambarkan mencekamnya suasana kala itu. Dapunta pun bertarung
mempertahankan diri dari serangan raksasa. Pada halaman 364 dijelaskan setelah
pertarungan sengit raksasa berubah wujud menjadi manusia bertangan empat dan
ternyata ia adalah jelmaan dari Bathara Brahma. Masih di halaman yang sama
Brahma berkata “...Aku sudah mengetahui kedatanganmu, Anakku.”
Inilah yang membuat aneh dan lucu, karena pembaca disuguhkan
tentang keinginan sang raksasa (jelmaan Brahma) untuk memakan Dapunta tetapi
hal itu disangkal dengan dialog di halaman 364, pembaca disuguhi percakapan
Dapunta dengan Brahma bahwa sang Batara sudah mengetahui kedatangannya. Kalau
memang sudah tahu (kedatangan Dapunta), kenapa pembaca disuguhi keinginan sang
Batara memakan Dapunta?
Akan lebih luwes jika disaat Dapunta melakukan tapa bratha,
tiba-tiba diserang oleh raksasa tanpa perlu ditulis keinginan raksasa untuk
memakannya (karena tulisan ini sesungguhnya ditujukan kepada pembaca untuk
menggambarkan betapa mencekamnya suasana kala itu). Setelah terjadi pertarungan
sengit akhirnya sang raksasa berubah menjadi Batara Brahma. Karena pertarungan
itu hanya bersifat menguji Dapunta. Sehingga tidak terjadi kontra di dalam
cerita itu.
***
Memang
tidak diragukan lagi tentang kepandaian sang penulis dalam pemilihan kata-kata
dalam menyusun cerita, akan tetapi ketelitian dalam alur cerita juga akan berpengaruh
besar pada isi cerita walau tidak mengubah makna cerita yang sesungguhnya. Jangan
sampai pembaca yang sudah larut dalam emosi cerita tiba-tiba menjadi hilang
karena cerita menjadi konyol.
Demikian tanggapan atas Novel Bumi Sriwijaya ini
saya buat guna tambahan wawasan dan tanpa maksud menggurui dan merasa benar.
Hal seperti ini tentu sudah biasa di kalangan sastra demi perkembangan
kesusastraan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar