ZAKAT FITRAH
A. Latar Belakang dan Pengertian
Zakat Fitrah
Zakat artinya berkah, tumbuh, bersih, baik dan bertambah. Dalam istilah
fiqih adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah s.w.t agar
diserahkan kepada orang-orang yang berhak (mustahak).[1]
Zakat merupakan ibadah yang menyangkut harta benda dan berfungsi sosial itu,
telah tua umurnya dan telah dikenal dalam agama wahyu yang dibawa oleh para
rasul terdahulu. Namun kewajiban berzakat bagi kaum muslim baru diperintahkan
secara tegas dan jelas pada ayat-ayat yang diturunkan di Madinah. Kewajiban
zakat kemudian diperkuat oleh sunnah Nabi
Muhammad SAW, baik mengenai nisab, jumlah, syarat-syarat, jenis, macam
dan bentuk pelaksanaan yang konkret.
Bentuk ibadah ini dibagi menjadi dua yaitu zakat Mal (harta) dan zakat
fitrah (zakat badan), dan dalam makalah ini hanya akan dibahas tentang zakat fitrah
saja. Salah satu macam zakat yang perlu dipelajari secara mendalam sebagai
salah satu bahasan penting kajian fiqih.
Zakat
fitrah adalah zakat yang diwajibkan pada akhir puasa Ramadhan bagi setiap
muslim baik anak kecil maupun orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan,
dan baik orang merdeka maupun hamba sahaya.[2])
Zakat fitrah
mulai diwajibkan pada tahun kedua Hijriah, tahun diwajibkannya puasa Ramadhan. Di sebut dengan zakat fitrah sebab
diwajibkan setelah berbuka puasa. Menurut Imam Waqi’ dalam kitab Fathul
Mu’in beliau mengatakan bahwa zakat fitrah terhadap puasa ramadhan adalah
bagaikan sujud sahwi terhadap shalat.[3])
Artinya dia bisa menambal kekurangan puasa sebagaimana kekurangan shalat.
Perkataan ini dikuatkan oleh hadis Nabi SAW yang mengatakan bahwa zakat fitrah
dapat membersihkan orang yang berpuasa dari lelehan (perbuatan sia-sia)
dan perkataan keji.
Sebagaimana
hadis Nabi SAW:
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ
اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: فَرَضَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْــــــــــهِ
وَسَلَّمَ زَ كَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِوَالرَّ فَثِ
وَطَعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ, فَمَنْ اَدَّ اهَاقَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُوْ لَةٌ, وَمَنْ
اَدَّاهَابَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَ قَةٌ مِنَ الصَّدَ قَاتِ. (رواه
أبوداودوابن ماجه)
Artinya : “Dari
Ibn Abbas, ra., ia berkata :”Rasulullah saw. telah mewajibkan mengeluarkan
zakat fitrah sebagai (penyempurna) kesucian bagi orang puasa, dari perkataan
sia-sia dan omongan kotor. Juga sebagai menyantuni orang miskin. Barang siapa
yang menunaikannya sebelum shalat Hari Raya, maka itu zakat yang diterima (sah
hukumnya), tetapi bila ditunaikan sesudah selesai shalat Hari Raya, maka itu
merupakan sedekah yang tergolong kedalam sedekah sunnat”. (HR. Imam Abu Dawud
dan Ibnu Majah).[4])
B.
Dasar Hukum diwajibkan Zakat
Dalam
pembahasan zakat fitrah ini ada beberapa ayat Al-Qur’an dan juga hadits
Rasulullah SAW yang bisa dijadikan dasar hukum diwajibkannya zakat fitrah. Salah
satu ayat Al-Qur’an yang menerangkan kewajiban zakat adalah Surat Al-Baqarah
ayat 110.
وَاَقِيْمُوْ االصَّلَوةَ
وَاَتُوْاالزَّ كَوْةَ, وَمَـاتُقَدّ ِمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍتَجِدُوْهُ
عِنْدَاللهِ, اِنَّ اللهَ بِمَاتَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ (البقرة : ١١٠)
Artinya : “Dan
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan apa-apa yang kamu usahakan dari
kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah
: Ayat 110).[5])
Adapun dalil
yang berasal dari hadits Rasulullah SAW adalah hadits seperti yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar ra.,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ
عَنْهُمَا قَالَ : فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَ كَاةَ الْفِطْرِ
صَاعًامِنْ تَمْرٍ اَوْصَاعًامِنْ شَعِيْرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِ,
وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ, وَاَمَرَ بِهَا اَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ
النَّاسِ اِلىَ الصَّلاَةِ (متفق علية)
Artinya : Dari
Ibnu Umar, ra., ia berkata : “Rasulullah saw. telah mewajibkan mengeluarkan
zakat fitrah satu sha’ kurma atau satu sha’ sya’ir atas hamba sahaya ataupun
orang merdeka, laki-laki maupun perempuan, anak kecil atau dewasa, dari
orang-orang (yang mengaku) Islam. Dan beliau menyuruh menyerahkan sebelum
orang-orang keluar dari shalat Hari Raya Fithrah”. (HR. Imam Bukhari dan
Imam Muslim).[6])
Berdasarkan
hadits tersebut di atas maka jelaslah kewajiban membayar zakat fitrah. Selain
itu juga termasuk kedalam keumuman firman Allah swt., “dan tunaikanlah zakat”
seperti dalam QS. Al-Baqarah ayat 110, QS An-Nisaa’ ayat 77, QS. An-Nuur ayat
56.
C.
Takaran Zakat Fitrah dan Ketentuannya
Hadits selain
yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ra., ada juga hadits yang diriwayatkan dari
Abu Sa’id Al-Khudri, ra., tentang takaran dalam zakat fitrah.
وَعَنِ اَبىِ سَعِيْدٍ
الْخُدْرِىِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : كُنَّانُعْطِيْهَافىِ زَمَنِ
النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ, اَوْصَاعًامِنْ تَمْرٍ, اَوْصَاعًامِنْ شَعِيْرٍ,
اَوْصَاعًامِنْ زَبِيْب (متفق علية)
Artinya
: Dari Abu Sa’id Al-Khudri, ra., ia
berkata : “Kami memberikan zakat fithrah pada masa Rasulullah saw. satu sha’
dari makanan (sehari-hari) kami, atau satu sha’ dari korma, atau satu sha’ dari
sya’ir, atau satu sha’ dari anggur”. (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim).[7])
Hadits tersebut
di atas jelas menerangkan bahwa yang dimaksud Rasulallah SAW., dengan banyaknya
fitrah itu adalah satu sha’ sedangkan nama sha’ menurut arti bahasa Arab adalah
nama ukuran sukatan (takaran). Takaran yang memuat satu sha’ menurut Kitab Fatul
Muqadir[8]
adalah kubus yang tiap sisinya 14,65 cm. Jika dikonversi menjadi kilogram
terdapat banyak perbeda’an dalam menentukan berat satu sha’ di kalangan ulama,
hal ini dikarenakan satu sha’ gandum belum tentu beratnya sama dengan satu sha’
kruma atau satu sha’ beras. Sedangkan di Indonesia berat satu sha’ dibakukan
menjadi 2,5 kg mengingat makanan pokok secara umum adalah beras.
Imam Malik,
Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan para ulama lain sepakat bahwa zakat fitrah
ditunaikan sebesar satu sha’ kurma, gandum, atau makanan lain yang menjadi
makanan pokok negeri yang bersangkutan. Menurut mazhab Syafi’i tidak
diperbolehkan berfitrah dengan uang, beliau berpendapat bahwa yang diwajibkan
dalam hadits untuk berfitrah adalah sesuatu yang mengenyangkan, maka itu harus
berupa makanan pokok.
Imam Hanafi
membolehkan membayar zakat fitrah dengan uang senilai bahan makanan pokok yang
wajib dibayarkan. Namun, ukuran satu sha’ menurut mazhab Hanafiyyah lebih
tinggi daripada pendapat para ulama yang lain, yakni 3,8 kg. Menurut Imam
Hanafi diperbolehkan berfitrah dengan uang karena fitrah merupakan hak
orang-orang miskin; untuk menutup hajat mereka, maka boleh dengan makanan dan
boleh dengan uang, tidak ada bedanya.
Menyikapi
perbedaan pendapat tentang kadar zakat fitrah tersebut, ada pandangan yang
berusaha mengombinasikan seluruh pendapat. Jadi, sekiranya bermaksud membayar
zakat fitrah dengan beras, sebaiknya mengikuti pendapat yang mengatakan 2,5 kg
beras. Tetapi seandainya bermaksud membayar zakat fitrah dengan menggunakan
uang, gunakanlah patokan 3,8 kg beras. Langkah seperti ini diambil demi
kehati-hatian dalam menjalankan ibadah.[9])
Jenis makanan
pokok yang dikeluarkan sebagai zakat fitrah adalah jenis makanan pokok orang
yang mengeluarkannya bila atas namanya sendiri. Apabila atas nama orang lain
yang berbeda domisili, maka harus berupa jenis makanan pokok orang-orang yang
ia zakati dan dibagikan kepada para mustahik daerah tersebut. Sedangkan untuk
daerah yang tidak mempunyai makanan pokok, atau memilikinya namun tidak
mencukupi semisal daging maka yang harus dikeluarkan adalah jenis makanan pokok
daerah terdekat.
D.
Syarat-Syarat Wajib Zakat Fitrah
1.
Islam.
Artinya orang yang tidak beragama Islam tidak wajib membayar
fitrah.
2.
Lahir
sebelum terbenamnya matahari pada hari penghabisan bulan Ramadhan.
Anak yang lahir setelah terbenamnya matahari malam ‘idul fitri
tidak wajib dikeluarkan zakat fitrah. Sebaliknya; jika seorang anak lahir
sebelum terbenamnya matahari di hari terakhir bulan Ramadhan maka wajib
dikeluarkan zakat fitrah.
3.
Mempunyai
kelebihan harta.
Yaitu memiliki kelebihan biaya hidup baik untuk dirinya maupun
orang-orang yang wajib dinafkahinya pada siang dan malam hari ‘idul fitri.
Apabila tidak memiliki lebihan maka tidak wajib baginya membayar fitrah.
Harta yang terhitung adalah harta yang tidak perlu baginya sehari-hari.
Sedangkan harta yang diperlukan sehari-hari seperti rumah, perabotan, pakaian,
dan lain sebagainya tidak termasuk perhitungan; jadi tidak perlu dijual untuk
membayar fitrah.
Orang-orang
yang memiliki persyaratan seperti tersebut di atas maka ia wajib membayar
fitrah baik untuk dirinya sendiri dan fitrah untuk orang yang wajib
dinafkahinya, seperti fitrah istrinya, anaknya yang masih kecil, fitrah orang
tua yang sudah menjadi tanggungannya. Sedang fitrah bagi anak yang sudah dewasa
tidak diperbolehkan kecuali mendapatkan izin.
E.
Waktu Pembayaran Zakat Fitrah
Para ulama
berbeda pendapat dalam menentukan mulai kapankah zakat fitri boleh disegerakan.
Pertama,
Abu Hanifah berpendapat bolehnya membayar zakat fitri sejak awal tahun (bulan Muharram) karena hukum zakat fitri sebagaimana zakat harta yang boleh
disegerakan sebelum genap satu tahun.
Kedua, Imam Syafi’i berpendapat pembayaran zakat fitri boleh didahulukan
sejak awal bulan Ramadan karena penyebab adanya zakat adalah puasa dan berbuka
puasa (hari raya), sehingga jika sudah ada salah satu dari sebab tersebut
(yaitu puasa) maka zakat boleh dibayarkan.
Ketiga, Imam Ahmad berpendapat bolehnya menyegerakan pembayaran zakat,
sehari atau dua hari sebelum waktu wajib (waktu fitri), dan tidak boleh
(disegerakan) lebih dari itu.
Dari
pendapat-pendapat di atas maka dapat dijelaskan beberapa waktu dan hukum
membayar zakat fitrah.
1.
Waktu
yang diperbolehkan, yaitu awal
Ramadhan sampai hari penghabisan Ramadhan.
2.
Waktu
wajib, yaitu mulai terbenamnya matahari
penghabisan Ramadhan.
3.
Waktu
yang baik (sunat), dibayar sesudah
salat subuh sebelum pergi shalat hari raya.
4.
Waktu
makruh, yaitu membayar fitrah sesudah shalat
hari raya namun belum terbenam matahari pada hari raya.
5.
Waktu
haram, yaitu dibayar sesudah terbenam
matahari pada hari raya.
F.
Orang yang Berhak Menerima Zakat
Orang-orang yang berhak menerima zakat adalah seperti yang telah
ditentukan oleh Allah SWT., dalam Al-Qur’an.
Firman Allah SWT., :
اِنَّمَاالصَّدَقَتُ
لِلْفُقَرَآءِوَالْمَسَكِيْنِ وَالْعَمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ
قُلُوْبُهُمْ وَفىِ الرِقَابِ وَالْغَرِمِيْنَ وَفىِ سَبِيْلِ اللهِ وَابْنِ
السَّبِيْلِ فَرِيْضَةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ (التّوبت
٦٠)
Artinya : “Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyala untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang untuk jalan Allah dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS.
At-Taubah : 60) [10])
Allah swt., telah mejelasakan delapan
golongan yang berhak menerima zakat, yaitu : [11]
- Orang fakir: orang yang sangat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.
- Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.
- Pengurus zakat : orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan harta zakat.
- Para muallaf yang dibujuk hatinya: adalah orang orang yang baru memeluk islam dan imannya masih lemah
- Memerdekakan budak : mencakup juga untuk melepaskan orang muslim yang tertawan oleh orang-orang kafir.
- Orang yang berhutang : orang yang berhutang bukan karena maksiat dan tidak sanggup membayarnya.
- Pada jalan Allah (sabilillah) : yaitu untuk kepentingan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Di antara ahli tafsir ada juga yang berpendapat bahwa fi sabilillah mencakup kepentingan umum seperti rumah sakit, sekolah dan lain-lain.
- Orang yang sedang dalam perjalanan : maksudnya orang yang mengalami kesengsaraan dalam perjalanan akan tetapi bukan dalam maksud maksiat.
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan imam mazhab
mengenai siapa saja yang berhak menerima zakat, yaitu :
1.
Pendapat
yang mewajibkan di bagikan pada asnaf yang delapan, dengan rata ini adalah
pendapat yang masyhur dari golongan Imam Syafi'i.
2.
Pendapat
yang memperkenankan membagikannya pada asnaf yang delapan dan mengkhususkanya
kepada golongan fakir. Ini adalah pendapat jumhur, karena zakat fitrah adalah
zakat juga, sehingga masuk dalam keumuman sebagaimana pada surat at-Taubat
ayat:60.
3.
Pendapat
yang mewajibkan mengkhususkan kepada orang-orang yang fakir saja, ini adalah
pendapat golongan Maliki dan salah satu dari pendapat Imam Ahmad, di perkuat
oleh Ibnu Qoyyim.
Hadist-hadist
Rasulullah saw., yang menunjukkan bahwa maksud utama zakat fitrah adalah
mencukupkan orang-orang fakir pada hari raya, tetapi ini tidak berarti mencegah
diberikanya kepada kelompok lainnya, sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan,
sebagaimana penjelasan Nabi tentang zakat harta, bahwa zakat itu diambil dari
orang kaya dan diberikan kepada orang fakir. Rasulullah saw. tidak melarang
zakat itu diberikan kepada asnaf lainya, sebagaimana yang terdapat dalam surat
at-Taubat ayat 60.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa zakat fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan oleh setiap
orang muslim pada hari raya idul fitri baik laki-laki dan perempuan, dewasa
maupun anak kecil, merdeka atau hamba sahaya. Zakat fitrah berfungsi
menyempurnakan kekurangan yang terjadi dalam berpuasa.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya banyak sekali terjadi permasalahan
yang muncul. Seperti ketika membayar zakat apakah menggunakan makanan pokok
atau boleh dengan uang. Selain itu juga
mengenai kapan dimulainya membayar zakat fitrah. Serta siapa saja yang berhak
mendapat pembagian zakat, apakah hanya orang miskin atau asnaf yang delapan
seperti yang tercantum dalam QS. At-Taubah : 60.
Kesemuanya itu diperlukan pengkajian yang mendalam baik dari nash
Al-Qur’an, hadits Nabi saw., maupun dari pendapat-pendapat ulama demi sikap
kehati-hatian dalam beribadah dan semata-mata mengharapkan ridha Allah swt.
DAFTAR PUSTAKA
- Aladip,
M. Machfuddin. Terjemahan : Bulughul Maram Karya Besar : Al-Hafizh Ibn Hajar
Al-Asqalani. Semarang : PT. Karya Toha Putra.
-
Dewan
Redaksi Ensiklopedia Islam.1997. ENSIKLOPEDIA ISLAM. Jilid 5. Jakarta
: Ichtiar Baru Van Hoeve.
-
Ma’ruf,
Tolhah dkk. 2008. Fiqih Ibadah. Kediri : Lembaga Ta’lif Wannasyr.
Rasjid,
Sulaiman. 2011. Fiqih Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
[1] Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. ENSIKLOPEDIA
ISLAM. Jilid 5. Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997 hal.224
[2] Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, ENSIKLOPEDIA
ISLAM, Jilid 5. Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997 hal.224
[4] Drs. Moh. Machfuddin Aladip. Terjemahan
Kitab Bulughul Maram Karya: Al-Hafizh Ibn Hajar Al-Asqalani. Semarang : PT.
Karya Toha Semarang hal.298
[6] Drs. Moh. Machfuddin Aladip. Terjemahan
Kitab Bulughul Maram Karya: Al-Hafizh Ibn Hajar Al-Asqalani. Semarang : PT.
Karya Toha Semarang hal.296
[7] Drs. Moh. Machfuddin Aladip. Terjemahan
Kitab Bulughul Maram Karya: Al-Hafizh Ibn Hajar Al-Asqalani. Semarang : PT.
Karya Toha Semarang hal.297
[11] Tafsir QS. At-Taubah 60 No.647. Departemen
Agama, 1978, Al-Quran dan Terjemahan, Jakarta : Pelita II, hal.228
Tidak ada komentar:
Posting Komentar