Selasa, 04 Desember 2012

ZAKAT FITRAH


ZAKAT FITRAH

A.    Latar Belakang dan Pengertian Zakat Fitrah
Zakat artinya berkah, tumbuh, bersih, baik dan bertambah. Dalam istilah fiqih adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah s.w.t agar diserahkan kepada orang-orang yang berhak (mustahak).[1]
Zakat merupakan ibadah yang menyangkut harta benda dan berfungsi sosial itu, telah tua umurnya dan telah dikenal dalam agama wahyu yang dibawa oleh para rasul terdahulu. Namun kewajiban berzakat bagi kaum muslim baru diperintahkan secara tegas dan jelas pada ayat-ayat yang diturunkan di Madinah. Kewajiban zakat kemudian diperkuat oleh sunnah Nabi  Muhammad SAW, baik mengenai nisab, jumlah, syarat-syarat, jenis, macam dan bentuk pelaksanaan yang konkret.
Bentuk ibadah ini dibagi menjadi dua yaitu zakat Mal (harta) dan zakat fitrah (zakat badan), dan dalam makalah ini hanya akan dibahas tentang zakat fitrah saja. Salah satu macam zakat yang perlu dipelajari secara mendalam sebagai salah satu bahasan penting kajian fiqih.
Zakat fitrah adalah zakat yang diwajibkan pada akhir puasa Ramadhan bagi setiap muslim baik anak kecil maupun orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, dan baik orang merdeka maupun hamba sahaya.[2])
Zakat fitrah mulai diwajibkan pada tahun kedua Hijriah, tahun diwajibkannya puasa Ramadhan. Di sebut dengan zakat fitrah sebab diwajibkan setelah berbuka puasa. Menurut Imam Waqi’ dalam kitab Fathul Mu’in beliau mengatakan bahwa zakat fitrah terhadap puasa ramadhan adalah bagaikan sujud sahwi terhadap shalat.[3]) Artinya dia bisa menambal kekurangan puasa sebagaimana kekurangan shalat. Perkataan ini dikuatkan oleh hadis Nabi SAW yang mengatakan bahwa zakat fitrah dapat membersihkan orang yang berpuasa dari lelehan (perbuatan sia-sia) dan perkataan keji.

Sebagaimana hadis Nabi SAW:
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: فَرَضَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْــــــــــهِ وَسَلَّمَ زَ كَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِوَالرَّ فَثِ وَطَعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ, فَمَنْ اَدَّ اهَاقَبْلَ الصَّلاَةِ  فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُوْ لَةٌ, وَمَنْ اَدَّاهَابَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَ قَةٌ مِنَ الصَّدَ قَاتِ. (رواه أبوداودوابن ماجه)
Artinya : “Dari Ibn Abbas, ra., ia berkata :”Rasulullah saw. telah mewajibkan mengeluarkan zakat fitrah sebagai (penyempurna) kesucian bagi orang puasa, dari perkataan sia-sia dan omongan kotor. Juga sebagai menyantuni orang miskin. Barang siapa yang menunaikannya sebelum shalat Hari Raya, maka itu zakat yang diterima (sah hukumnya), tetapi bila ditunaikan sesudah selesai shalat Hari Raya, maka itu merupakan sedekah yang tergolong kedalam sedekah sunnat”. (HR. Imam Abu Dawud dan Ibnu Majah).[4])

B.       Dasar Hukum diwajibkan Zakat
Dalam pembahasan zakat fitrah ini ada beberapa ayat Al-Qur’an dan juga hadits Rasulullah SAW yang bisa dijadikan dasar hukum diwajibkannya zakat fitrah. Salah satu ayat Al-Qur’an yang menerangkan kewajiban zakat adalah Surat Al-Baqarah ayat 110.
وَاَقِيْمُوْ االصَّلَوةَ وَاَتُوْاالزَّ كَوْةَ, وَمَـاتُقَدّ ِمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍتَجِدُوْهُ عِنْدَاللهِ, اِنَّ اللهَ بِمَاتَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ    (البقرة : ١١٠)
Artinya : “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan apa-apa yang kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah : Ayat 110).[5])

Adapun dalil yang berasal dari hadits Rasulullah SAW adalah hadits seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar ra.,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ  عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَ كَاةَ الْفِطْرِ صَاعًامِنْ تَمْرٍ اَوْصَاعًامِنْ شَعِيْرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِ, وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ, وَاَمَرَ بِهَا اَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ اِلىَ الصَّلاَةِ (متفق علية)

Artinya : Dari Ibnu Umar, ra., ia berkata : “Rasulullah saw. telah mewajibkan mengeluarkan zakat fitrah satu sha’ kurma atau satu sha’ sya’ir atas hamba sahaya ataupun orang merdeka, laki-laki maupun perempuan, anak kecil atau dewasa, dari orang-orang (yang mengaku) Islam. Dan beliau menyuruh menyerahkan sebelum orang-orang keluar dari shalat Hari Raya Fithrah”. (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim).[6])

Berdasarkan hadits tersebut di atas maka jelaslah kewajiban membayar zakat fitrah. Selain itu juga termasuk kedalam keumuman firman Allah swt., “dan tunaikanlah zakat” seperti dalam QS. Al-Baqarah ayat 110, QS An-Nisaa’ ayat 77, QS. An-Nuur ayat 56.

C.      Takaran Zakat Fitrah dan Ketentuannya
Hadits selain yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ra., ada juga hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri, ra., tentang takaran dalam zakat fitrah.
وَعَنِ اَبىِ سَعِيْدٍ الْخُدْرِىِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : كُنَّانُعْطِيْهَافىِ زَمَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ  عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ, اَوْصَاعًامِنْ تَمْرٍ, اَوْصَاعًامِنْ شَعِيْرٍ, اَوْصَاعًامِنْ زَبِيْب (متفق علية)
Artinya :   Dari Abu Sa’id Al-Khudri, ra., ia berkata : “Kami memberikan zakat fithrah pada masa Rasulullah saw. satu sha’ dari makanan (sehari-hari) kami, atau satu sha’ dari korma, atau satu sha’ dari sya’ir, atau satu sha’ dari anggur”. (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim).[7])

Hadits tersebut di atas jelas menerangkan bahwa yang dimaksud Rasulallah SAW., dengan banyaknya fitrah itu adalah satu sha’ sedangkan nama sha’ menurut arti bahasa Arab adalah nama ukuran sukatan (takaran). Takaran yang memuat satu sha’ menurut Kitab Fatul Muqadir[8] adalah kubus yang tiap sisinya 14,65 cm. Jika dikonversi menjadi kilogram terdapat banyak perbeda’an dalam menentukan berat satu sha’ di kalangan ulama, hal ini dikarenakan satu sha’ gandum belum tentu beratnya sama dengan satu sha’ kruma atau satu sha’ beras. Sedangkan di Indonesia berat satu sha’ dibakukan menjadi 2,5 kg mengingat makanan pokok secara umum adalah beras.
Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan para ulama lain sepakat bahwa zakat fitrah ditunaikan sebesar satu sha’ kurma, gandum, atau makanan lain yang menjadi makanan pokok negeri yang bersangkutan. Menurut mazhab Syafi’i tidak diperbolehkan berfitrah dengan uang, beliau berpendapat bahwa yang diwajibkan dalam hadits untuk berfitrah adalah sesuatu yang mengenyangkan, maka itu harus berupa makanan pokok.
Imam Hanafi membolehkan membayar zakat fitrah dengan uang senilai bahan makanan pokok yang wajib dibayarkan. Namun, ukuran satu sha’ menurut mazhab Hanafiyyah lebih tinggi daripada pendapat para ulama yang lain, yakni 3,8 kg. Menurut Imam Hanafi diperbolehkan berfitrah dengan uang karena fitrah merupakan hak orang-orang miskin; untuk menutup hajat mereka, maka boleh dengan makanan dan boleh dengan uang, tidak ada bedanya.
Menyikapi perbedaan pendapat tentang kadar zakat fitrah tersebut, ada pandangan yang berusaha mengombinasikan seluruh pendapat. Jadi, sekiranya bermaksud membayar zakat fitrah dengan beras, sebaiknya mengikuti pendapat yang mengatakan 2,5 kg beras. Tetapi seandainya bermaksud membayar zakat fitrah dengan menggunakan uang, gunakanlah patokan 3,8 kg beras. Langkah seperti ini diambil demi kehati-hatian dalam menjalankan ibadah.[9])
Jenis makanan pokok yang dikeluarkan sebagai zakat fitrah adalah jenis makanan pokok orang yang mengeluarkannya bila atas namanya sendiri. Apabila atas nama orang lain yang berbeda domisili, maka harus berupa jenis makanan pokok orang-orang yang ia zakati dan dibagikan kepada para mustahik daerah tersebut. Sedangkan untuk daerah yang tidak mempunyai makanan pokok, atau memilikinya namun tidak mencukupi semisal daging maka yang harus dikeluarkan adalah jenis makanan pokok daerah terdekat.

D.      Syarat-Syarat Wajib Zakat Fitrah
1.         Islam.
Artinya orang yang tidak beragama Islam tidak wajib membayar fitrah.
2.         Lahir sebelum terbenamnya matahari pada hari penghabisan bulan Ramadhan.
Anak yang lahir setelah terbenamnya matahari malam ‘idul fitri tidak wajib dikeluarkan zakat fitrah. Sebaliknya; jika seorang anak lahir sebelum terbenamnya matahari di hari terakhir bulan Ramadhan maka wajib dikeluarkan zakat fitrah.
3.         Mempunyai kelebihan harta.
Yaitu memiliki kelebihan biaya hidup baik untuk dirinya maupun orang-orang yang wajib dinafkahinya pada siang dan malam hari ‘idul fitri. Apabila tidak memiliki lebihan maka tidak wajib baginya membayar fitrah.

Harta yang terhitung adalah harta yang tidak perlu baginya sehari-hari. Sedangkan harta yang diperlukan sehari-hari seperti rumah, perabotan, pakaian, dan lain sebagainya tidak termasuk perhitungan; jadi tidak perlu dijual untuk membayar fitrah.

Orang-orang yang memiliki persyaratan seperti tersebut di atas maka ia wajib membayar fitrah baik untuk dirinya sendiri dan fitrah untuk orang yang wajib dinafkahinya, seperti fitrah istrinya, anaknya yang masih kecil, fitrah orang tua yang sudah menjadi tanggungannya. Sedang fitrah bagi anak yang sudah dewasa tidak diperbolehkan kecuali mendapatkan izin.

E.       Waktu Pembayaran Zakat Fitrah
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan mulai kapankah zakat fitri boleh disegerakan. Pertama, Abu Hanifah berpendapat bolehnya membayar zakat fitri sejak awal tahun (bulan Muharram) karena hukum zakat fitri sebagaimana zakat harta yang boleh disegerakan sebelum genap satu tahun.
Kedua, Imam Syafi’i berpendapat pembayaran zakat fitri boleh didahulukan sejak awal bulan Ramadan karena penyebab adanya zakat adalah puasa dan berbuka puasa (hari raya), sehingga jika sudah ada salah satu dari sebab tersebut (yaitu puasa) maka zakat boleh dibayarkan.
Ketiga, Imam Ahmad berpendapat bolehnya menyegerakan pembayaran zakat, sehari atau dua hari sebelum waktu wajib (waktu fitri), dan tidak boleh (disegerakan) lebih dari itu.
Dari pendapat-pendapat di atas maka dapat dijelaskan beberapa waktu dan hukum membayar zakat fitrah.
1.         Waktu yang diperbolehkan, yaitu awal Ramadhan sampai hari penghabisan Ramadhan.
2.         Waktu wajib, yaitu mulai terbenamnya matahari penghabisan Ramadhan.
3.         Waktu yang baik (sunat), dibayar sesudah salat subuh sebelum pergi shalat hari raya.
4.         Waktu makruh, yaitu membayar fitrah sesudah shalat hari raya namun belum terbenam matahari pada hari raya.
5.         Waktu haram, yaitu dibayar sesudah terbenam matahari pada hari raya.


F.       Orang yang Berhak Menerima Zakat
Orang-orang yang berhak menerima zakat adalah seperti yang telah ditentukan oleh Allah SWT., dalam Al-Qur’an.
Firman Allah SWT., :
اِنَّمَاالصَّدَقَتُ لِلْفُقَرَآءِوَالْمَسَكِيْنِ وَالْعَمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفىِ الرِقَابِ وَالْغَرِمِيْنَ وَفىِ سَبِيْلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ فَرِيْضَةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ  (التّوبت ٦٠)

Artinya : “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyala untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah : 60) [10])

Allah swt., telah mejelasakan delapan golongan yang berhak menerima zakat, yaitu : [11]
  1. Orang fakir: orang yang sangat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.
  2. Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.
  3. Pengurus zakat : orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan harta zakat.
  4. Para muallaf yang dibujuk hatinya: adalah orang orang yang baru memeluk islam dan imannya masih lemah
  5. Memerdekakan budak : mencakup juga untuk melepaskan orang muslim yang tertawan oleh orang-orang kafir.
  6. Orang yang berhutang : orang yang berhutang bukan karena maksiat dan tidak sanggup membayarnya.
  7. Pada jalan Allah (sabilillah) : yaitu untuk kepentingan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Di antara ahli tafsir ada juga yang berpendapat bahwa fi sabilillah mencakup kepentingan umum seperti rumah sakit, sekolah dan lain-lain.
  8. Orang yang sedang dalam perjalanan : maksudnya orang yang mengalami kesengsaraan dalam perjalanan akan tetapi bukan dalam maksud maksiat.

Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan imam mazhab mengenai siapa saja yang berhak menerima zakat, yaitu :

1.      Pendapat yang mewajibkan di bagikan pada asnaf yang delapan, dengan rata ini adalah pendapat yang masyhur dari golongan Imam Syafi'i.
2.      Pendapat yang memperkenankan membagikannya pada asnaf yang delapan dan mengkhususkanya kepada golongan fakir. Ini adalah pendapat jumhur, karena zakat fitrah adalah zakat juga, sehingga masuk dalam keumuman sebagaimana pada surat at-Taubat ayat:60.
3.      Pendapat yang mewajibkan mengkhususkan kepada orang-orang yang fakir saja, ini adalah pendapat golongan Maliki dan salah satu dari pendapat Imam Ahmad, di perkuat oleh Ibnu Qoyyim.

Hadist-hadist Rasulullah saw., yang menunjukkan bahwa maksud utama zakat fitrah adalah mencukupkan orang-orang fakir pada hari raya, tetapi ini tidak berarti mencegah diberikanya kepada kelompok lainnya, sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan, sebagaimana penjelasan Nabi tentang zakat harta, bahwa zakat itu diambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang fakir. Rasulullah saw. tidak melarang zakat itu diberikan kepada asnaf lainya, sebagaimana yang terdapat dalam surat at-Taubat ayat 60.

BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa zakat fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan oleh setiap orang muslim pada hari raya idul fitri baik laki-laki dan perempuan, dewasa maupun anak kecil, merdeka atau hamba sahaya. Zakat fitrah berfungsi menyempurnakan kekurangan yang terjadi dalam berpuasa.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya banyak sekali terjadi permasalahan yang muncul. Seperti ketika membayar zakat apakah menggunakan makanan pokok atau boleh dengan uang. Selain itu  juga mengenai kapan dimulainya membayar zakat fitrah. Serta siapa saja yang berhak mendapat pembagian zakat, apakah hanya orang miskin atau asnaf yang delapan seperti yang tercantum dalam QS. At-Taubah : 60.
Kesemuanya itu diperlukan pengkajian yang mendalam baik dari nash Al-Qur’an, hadits Nabi saw., maupun dari pendapat-pendapat ulama demi sikap kehati-hatian dalam beribadah dan semata-mata mengharapkan ridha Allah swt.

DAFTAR PUSTAKA

-   Aladip, M. Machfuddin. Terjemahan : Bulughul Maram Karya Besar : Al-Hafizh Ibn Hajar Al-Asqalani. Semarang : PT. Karya Toha Putra.
-         Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam.1997. ENSIKLOPEDIA ISLAM. Jilid 5. Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve.
-         Ma’ruf, Tolhah dkk. 2008. Fiqih Ibadah. Kediri : Lembaga Ta’lif Wannasyr.
Rasjid, Sulaiman. 2011. Fiqih Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo.


[1] Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. ENSIKLOPEDIA ISLAM. Jilid 5. Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997 hal.224
[2] Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, ENSIKLOPEDIA ISLAM, Jilid 5. Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997 hal.224
[4] Drs. Moh. Machfuddin Aladip. Terjemahan Kitab Bulughul Maram Karya: Al-Hafizh Ibn Hajar Al-Asqalani. Semarang : PT. Karya Toha Semarang hal.298
[5] Departemen Agama, 1978, Al-Quran dan Terjemahan, Jakarta : Pelita II, hal.30
[6] Drs. Moh. Machfuddin Aladip. Terjemahan Kitab Bulughul Maram Karya: Al-Hafizh Ibn Hajar Al-Asqalani. Semarang : PT. Karya Toha Semarang hal.296
[7] Drs. Moh. Machfuddin Aladip. Terjemahan Kitab Bulughul Maram Karya: Al-Hafizh Ibn Hajar Al-Asqalani. Semarang : PT. Karya Toha Semarang hal.297
[8] Karya Syekh Ma’sum Kowaron Jombang .
[9] http://zakat.or.id/zakat-fitrah/
[10]    Departemen Agama, 1978, Al-Quran dan Terjemahan, Jakarta : Pelita II, hal.288
[11]    Tafsir QS. At-Taubah 60 No.647. Departemen Agama, 1978, Al-Quran dan Terjemahan, Jakarta : Pelita II, hal.228

Tidak ada komentar:

Posting Komentar