TASAWUF DI INDONESIA
A.
SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF DI INDONESIA
Perkembangan tasawuf di Indonesia berkaitan erat dengan
proses islamisasi di kawasan Nusantara. Hal tersebut disebabkan karena sebagian
besar penyebaran Islam di Nusantara merupakan jasa para sufi.
Berdirinya kerajaan Islam Pasai menjadi titik sentral
penyiaran agama Islam ke berbagai daerah di Sumatra dan pesisir utara Pulau
Jawa. Di daerah Minangkabau tokoh yang sangat berjasa dalam mengupayakan
penyebaran Islam adalah Syekh Burhanuddin Ulakan murid Syekh Abd Rauf Singkel
seorang tokoh sufi yang tersohor. Dari didikan Syekh Burhanuddin Ulakan ini
lahir ulama-ulama besar seperti Tuanku Nan Renceh, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku
Pasaman dan lain-lain.
Penyebaran Islam ke Pulau Jawa juga berasal dari kerajaan
Pasai, terutama berkat jasa Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishak, dan Ibrahim
Asmoro yang ketiganya adalah abituren Pasai. Karena kegigihan dan keuletan
mereka maka lahirlah kerajaan Islam di Jawa yaitu Kerajaan Demak yang kemudian
menguasai Banten dan Batavia melalui Syarif Hidayatullah.
Perkembangan Islam di Pulau Jawa kemudian digerakkan oleh
Wali Sanga. Sebutan tersebut sudah cukup menunjukkan bahwa mereka adalah
penghayat tasawuf yang sudah sampai pada derajat “wali”. Para wali selain
sebagai penyebar agama Islam juga sangat besar pengaruhnya dalam kekuasaan
kesultanan. Dengan kedekatan secara politis dengan penguasa membantu memudahkan
dalam menyebarkan agama Islam sesuai dengan penghayatan sufisme yang mereka
anut.
Dalam dunia pesantren generasi awal, sufisme sangat kental di
kalangan para santri. Aliran sufisme yang mendominasi kala itu adalah aliran
Al-Gazali, dalam kelompok ini kitab-kitab karangan Al-Ghazali menjadi sumber
bacaan yang paling digemari dan Al-Ghazali secara keseluruhan adalah beraliran
tasawuf sunni.
Dari kedekatan para wali dengan penguasa keraton membuat
penyebaran agama juga melibatkan orang-orang keraton. Dari hal tersebut
menyebabkan terjadi akulturasi sufisme dengan kepercayaan lama dan tradisi
lokal, yang berakibat bergesernya nilai keislaman sufisme karena tergantikan
oleh model spiritual non Islam. Hal serupa juga dialami di dunia pesantren,
dengan masuknya kolonial Belanda menyebabkan pendidikan pesantren tidak luput
dari invasi yaitu pendidikan sekuler yang berasal dari Eropa.
Karena faktor-faktor tersebut kehidupan sufisme di Indonesia
sudah bergeser dari garis lurus yang diletakkan sufi terdahulu menjadi warna
kejawennya. Walau demikian sufisme tetap
berakar kuat pada corak Islam di Indonesia hingga kini.
B.
TOKOH-TOKOH TASAWUF DI INDONESIA DAN AJARAN-AJARANNYA
1.
Hamzah
Fansuri
a)
Riwayat
Hidup Hamzah Fansuri
Syekh
Hamzah Fansuri di kenal sebagai seorang pujangga Islam yang sangat populer
dalam kesusastraan Melayu dan Indonesia. Meskipun kebesaran nama beliau di akui
oleh para ahli, namun tahun dan tempat kelahiran beliau belum di ketahui.
Kata
“Fansur” yang menempel pada namanya sebagian peneliti beranggapan beliau
berasal dari daerah Fansur, sebutan oleh orang Arab kepada daerah yang bernama
Barus yang sekarang kota kecil di pantai barat Sumatera Utara.
Orang
banyak menyanggah Al-Fansuri karena ajaran wihdatul wujud, hulul, ittihad-nya
mengikuti faham Al-Hallaj sehingga di anggap sebagai zindiq, sesat, dan kafir.
Dalam
kesusastraan Melayu dan Indonesia karya-karya beliau tercatat dalam buku-buku
syair antara lain Syair Burung Pingai, Syair Dagang, Syair Pungguk, Syair
Sidang Faqir, Syair Ikan Tongkol, dan Syair Perahu. Dan menurut para ahli berdasar syair-syair
beliau, Hamzah Fansuri dalam mengembangkan tasawufnya hingga sampai seluruh
Semenanjung, di Negeri Perak, Perlis, Kelantan, Trengganu dan lain-lain.
b) Ajaran Tasawuf Hamzah Fansuri
Pemikiran
Al-Fansuri banyak di pengaruhi oleh Ibn Arabi dalam Wahdat al-Wujud-nya.
Ia mengajarkan bahwa Tuhan lebih dekat daripada leher manusia sendiri dan Tuhan
tidak bertempat. Ia memahami ayat Al-Qur’an “Di mana kamu hadapkan wajahmu
di situ ada wajah Tuhan.” Wajah Tuhan di tafsirkan sebagai sifat-sifat
Tuhan seperti Pengasih, Penyayang, Jalal, dan Jamal. Oleh sebab itu ia menolak perkataan
Abu Yazid Al-Bustami yang mengatakan bahwa Tuhan berada di dalam jubahnya.
2.
NURUDDIN
Ar-RANIRI
a)
Riwayat
Hidup Nuruddin Ar-Raniri
Nuruddin
Ar-Raniri lahir di kota Ranir Pantai Gujarat, India. Tahun kelahirannya tidak
di ketahui tetapi banyak ahli yang memperkirakan ia lahir di akhir abad 16.
Guru yang paling berpengaruh adalah Abu Nafs Sayyid Imam bin ‘Abdullah bin
Syaiban, seorang guru Tarekat Rifa’iyah.
Ar-Raniri
merupakan tokoh pembaharuan Islam di Aceh. Pembaharuan utamanya adalah
memerangi aliran Wujudiyyah yang dianggap aliran sesat.
Karya-karya
beliau antara lain Ash-Shirath Al-Mustaqim, Bustan As-Salatin fi
DzikirAl-Awwalin wa Al-Akhirin, Durrat Al-Farra’idh bi Syarhi Al’Aqa’id, Syifa
Al-Qulub.
b) Ajaran Tasawuf Ar-Raniri
Mengenai
ketuhanan, Ar-Raniri berupaya menyatukan paham Mutakallimin dengan paham
para sufi yang diwakili oleh Ibn Arabi. Ia berpendapat ungkapan “wujud Allah
dan Alam Esa” berarti alam ini merupakan sisi lahir dari hakikat batin yaitu
Allah SWT sebagaimana yang dimaksud Ibn Arabi. Tetapi hakikatnya alam ini tidak
ada yang ada adalah wujud Allah Yang Esa. Jadi ia berpendapat bahwa alam ini
tidak bisa dikatakan berbeda dengan Allah atau bersatu dengan Allah, alam ini
merupakan tajalli Allah SWT.
Ar-Raniri
berpandangan alam ini diciptakan melalui tajalli, ia menolak ajaran Al-Farabi
tentang emanasi karena membawa pada pengakuan alam ini qadim hingga
dapat jatuh pada kemusyrikan.
Ajaran
Wujudiyyah menurutnya Ar-Raniri berpusat pada Wahdat Al-Wujud yang di
salah artikan oleh kaum Wujudiyyah dengan arti kemanunggalan Allah SWT. Menurutnya, ajaran Hamzah Al-Fansuri tentang wahdat
Al-wujud dapat membawa kepada
kekafiran. Jika Tuhan dan makhluk itu satu maka dapat di artikan Tuhan adalah
makhluk dan makhluk adalah Tuhan. Semua perbuatan manusia tentang baik dan
buruk berarti Tuhan juga melakukannya.
3.
SYEKH ABDUR
RAUF As-SINKILI
a)
Riwayat
Hidup Abdur Rauf As-Sinkili
Abdur
Rauf As-Sinkili merupakan ulama dan mufti besar kerajaan Aceh abad ke-7
(1606-1637 M). Ayahnya berasal dari Persia yang datang ke Samudera Pasai
menetap di Fansur, Barus. Pendidikan Abdur Rauf As-Sinkili di dapat dari
ayahnya di Simpang Kanan (Sinkil). Dari ayahnya ia menguasai banyak ilmu agama,
sejarah, dan bahasa. Menurut para ahli, Abdur Rauf As-Sinkili di akui memang
mempunyai silsilah bersambung dari gurunya hingga kepada Nabi Muhammad SAW.
Di
antara karya-karya beliau antara lain Mir’at Ath-Thullab, Hidayat
Al-Balighah, ‘Umdat Al-Muhtajin, Syams Al-Ma’rifat, Kifayat Al-Muhtajin, Turjuman
Al-Mustafidh, dll.
b) Ajaran tasawuf Abdur Rauf As-Sinkili
Ajaran
tasawuf Abdur Rauf As-Sinkili sama dengan Syamsudin dan Nuruddin, yaitu
menganut paham satu-satunya wujud hakiki, yaitu Allah SWT., sedangkan alam
merupakan bayangan dari yang hakiki. Sehingga bayangan memiliki keserupaan
sifat dari yang memancarkan. Sifat-sifat manusia adalah bayangan dari
sifat-sifat Allah SWT., seperti hidup, tahu, dan melihat.
Ajaran
tasawuf As-Sinkili yang lain mengenai martabat perwujudan Tuhan. Menurutnya ada
tiga martabat perwujudan tuhan. Pertama, martabat la ta’ayyun yaitu
alam masih berupa hakikat gaib dalam ilmu Tuhan. Kedua, martabat ta’ayyun
awwal yaitu adanya potensi terciptanya alam. Ketiga, martabat ta’ayyun
tsani, dari sinilah alam tercipta.
Syair Ibn Arabi tentang “Aku Engkau, Kami Engkau, Engkau Ia” hanya benar pada ta’ayyun
awwal. Sedang dalam ta’ayyun tsani alam sudah memiliki sifat
tersendiri tapi merupakan cerminan dari sifat Tuhan.
4.
SYEKH YUSUF
AL MAKASARI
a)
Riwayat
Hidup Shekh Yusuf Al Makasari
Syekh
Yusuf Al Makasari merupakan tokoh sufi dari Sulawesi. Lahir pada 8 Syawal 1036
H atau 3 Juli 1629 M. Dalam relatif singkat ia mampu mempelajari Al-Qur’an 30
juz dan mungkintermasuk penghapal, setelah itu dilanjutkan ke ilmu-ilmu yang
lain seperti nahwu, sharaf, bayan, balaghah, mantiq, fikih, ilmu ushuluddin dan
tasawuf.
b) Ajaran Tasawuf Syekh Yusuf Al Makasari
Syekh
Yusuf Al Makasari mengungkapkan tentang paradigma sufistiknya berasal dua
aspek, yaitu lahir (syari’at) dan batin (hakikat) yang harus di pandang dan
diamalkan secara bersamaan.
Pandangannya
sama dengan Wahdatul Al-Wujud dalam filsafat Ibnu Arabi. Ia meyakini
bahwa Tuhan melingkupi segala sesuatu dan selalu dekat dengan sesuatu. Syekh
Yusuf mengembangkan istilah al-ihathah (peliputan) dan al-ma’iyyah (kesertaan).
Maksudnya Tuhan turun (tanazul) sementara manusia naik (taraqi),
proses spiritual yang membuat keduanya dekat. Proses ini menurutnya tidak akan
mengambil bentuk kesatuan wujud antara manusia dan Tuhan.
Syekh
Yusuf berpendapat tentang Insan Kamil dan proses penyucian jiwa.
Menurutnya manusia akan tetap manusia walau sudah naik derajat dan Tuhan tetap
Tuhan walau telah turun ke diri hamba. Mengenai menyucian jiwa, ia menempuh
dengan jalan moderat yaitu bahwa dunia ini tidak untuk di tinggalkan dan
mematikan hawa nafsu. Hidup di arahkan untuk menuju Tuhan dan hawa nafsu di
kendalikan dengan tertib hidup dan disiplin atas orientasi ketuhanan.
5.
SYEKH
NAWAWI AL-BANTANI
a)
Riwayat
Hidup Syekh Nawawi Al-Bantani
1230-1314 H / 1815- 1897 M Lahir dengan nama Abû Abdul Mu’ti Muhammad
Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi. Ulama besar ini hidup dalam tradisi keagamaan yang
sangat kuat. Ulama yang lahir di Kampung Tanara, sebuah desa kecil di kecamatan
Tirtayasa, Kabupaten Serang, Propinsi Banten. Bernasab kepada keturunan Maulana
Hasanuddin Putra Sunan Gunung Jati, Cirebon. Keturunan ke-12 dari Sultan Banten.
Nasab beliau melalui jalur ini sampai kepada Baginda Nabi Muhammad saw.
Semenjak kecil beliau
memang terkenal cerdas. Beliau mula-mula mendapat bimbingan langsung dari
ayahnya, kemudian berguru kapada Kyai Sahal, Banten; setelah itu mengaji kepada
Kyai Yusuf, Purwakarta.
Di usia beliau yang belum
lagi mencapai 15 tahun, Syaikh Nawawi telah mengajar banyak orang. Pada usia 15
tahun beliau menunaikan haji dan berguru kepada sejumlah ulama terkenal di
Mekah, seperti Syaikh Khâtib al-Sambasi, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Abdul Hamîd Daghestani, Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Ahmad Dimyati, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Muhammad Khatib Hambali, dan Syaikh Junaid Al-Betawi. Tapi guru yang paling berpengaruh
adalah Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Junaid Al-Betawi dan Syaikh Ahmad Dimyati, ulama terkemuka di Mekah. Lewat ketiga Syaikh inilah karakter beliau terbentuk.
Selain itu juga ada dua ulama lain yang berperan besar mengubah alam
pikirannya, yaitu Syaikh Muhammad Khatib dan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, ulama besar di Madinah.
Di antara buku yang ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara luas–Red)
seperti Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh
Sullam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Tanqih Al-Qoul, Fath Majid,
Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz
Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Samad, dan al-Aqdhu Tsamin. Sebagian
karyanya tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah.
b) Ajaran Tasawuf Syekh Nawawi Al-Bantani
Dalam
bidang tasawuf ia memiliki konsep yang identik dengan tasawuf ortodok.
Pandangan
tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya Syekh Khatib Sambas, seorang
ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin sebuah organisasi tarekat, bahkan tidak
ikut menjadi anggota tarekat, namun ia memiliki pandangan bahwa keterkaitan
antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih
mudah dari keterkaitan ini Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal,
tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat
diperoleh dengan kapal berlayar di laut. Dalam proses pengamalannya Syariat
(hukum) dan tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi,
sementara hakikat adalah hasil dari syariat dan tarikat. Pandangan ini
mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama
tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hat yang bertentangan dengan ajaran
Islam, syariat.
Paparan
konsep tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan pijakannya terhadap
pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-teman yang digunakan tidak jauh dari
rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf inilah yang membuat Nawawi
harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. la dapat dimakzulkan
(dibedakan) dari karakteristik tipologi tasawuf Indonesia, seperti Hamzah
Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel dan sebagainya.
6.
HAMKA
a)
Riwayat
Hidup Hamka
Hamka, atau nama
lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (lahir di Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia pada 17 Februari 1908 - 24 Julai
1981) adalah seorang penulis dan ulama terkenal Indonesia.
Ayahnya ialah Syekh
Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah
(tajdid) di Minangkabau.
Beliau banyak
menghabiskan masanya dengan membaca buku falsafah,sastera,sejarah,dan
politik.Hamka juga menyelidiki karya-karya Arab dan Barat yang diterjemahkan ke
bahasa Arab seperti Karl Marx dan Arnold Toynbee.
Beliau melibatkan diri
dengan pertubuhan Muhammadiyah dan menyertai cawangannya dan dilantik menjadi
anggota pimpinan pusat Muhammadiyah.Beliau melancarkan penentangan terhadap
khurafat,bida'ah,thorikoh kebatinan yang menular di Indonesia.Oleh itu,beliau
mengambil inisiatif untuk mendirikan pusat latihan dakwah Muhammadiyah.
b) Ajaran Tasawuf Hamka
Sebagai
realisasi dari upayanya memurnikan kembali ajaran tasawuf, Hamka menulis
beberapa karya yang berkenaan dengan tasawuf.
Berikut
ini dikemukakan beberapa pokok pikirannya, sebagaimana yang terdapat dalam
bukunya, Tasauf Moderen.
1)
Tentang Harta Benda dan
Kekayaan
Untuk
mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Tuhan, seorang sufi harus menempuh
beberapa tahap, antara lain al-zuhd dan al-faqr. Untuk tahap pertama,
seseorang harus mengabaikan kehidupan duniawi, sebab dunia dengan segala
kehidupan materialnya adalah sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya segala
kejahatan yang menimbulkan kerusakan dan dosa. Sedangkan tahap kedua, seseorang
harus bersikap tidak memaksa diri untuk mendapatkan sesuatu, tidak menuntut
lebih dari apa yang telah dimiliki, atau melebihi dari kebutuhan primer.
Bagi
Hamka, harta benda sangat perlu dalam melakukan pendekatan kepada Tuhan. Banyak
kejadian orang yang suci hatinya, tinggi maksudnya ingin berbuat baik kepada
orang lain, tetapi cita-citanya itu terhalang karena tidak memiliki harta yang
memadai. Bagaimana mungkin seseorang bisa memiliki pakaian untuk dipakai
beribadah, atau dapat membayar zakat dan naik haji, jika ia tidak memiliki
harta.
Namun
demikian, Hamka
menggarisbawahi bahwa orang yang sedikit keperluannya, itulah orang yang paling
kaya. Sebaliknya, orang yang paling banyak keperluannya, itulah orang yang
paling miskin. Jadi, pada hakekatnya, kekayaan dan kemiskinan itu tergantung
pada kebutuhan dan ketenteraman hati seseorang.
2)
Al-Qana’ah
Qana’ah ialah menerima dengan cukup. Maksudnya, seseorang
harus memagar apa yang dimilikinya dan tidak menjalar pikirannya kepada apa
yang dimiliki oleh orang lain.
Bukanlah
qana’ah jika menerima apa adanya dan tidak mau berusaha lagi, melemahkan
hati, memalaskan pikiran, serta mengajak berpangku tangan. Akan tetapi, qana’ah
adalah modal yang paling teguh untuk menghadapi kesungguhan hidup untuk
mencari rezki yang halal.
3)
Tawakkal
Dalam
kehidupan sufi, tawakkal adalah, selain menyerahkan diri sepenuhnya kepada
Tuhan, juga tidak meminta, tidak menolak dan tidak menduga-duga. Nasib apapun
yang diterima, itu adalah karunia dari Tuhan. Menurut mereka, sikap ini akan
berimplikasi pada keadaan jiwa yang tenang, berani, dan ikhlas dalam menalani
hidupnya.
Bagi
Hamka, makna tawakkal adalah penyerahan diri kepada Tuhan tanpa terlepas dari
hukum alam-Nya (sunnatullah). Sebagai contoh, sebelum keluar rumah,
pintu dikunci sambil bertawakkal kepada Tuhan. Sebaliknya, bukanlah tawakkal
jika seseorang yang duduk di bawah dinding yang hendak runtuh.
Untuk
memperkuat pendapatnya, ia mengutip sebuah riwayat yang pernah terjadi di zaman
Rasulullah. Seorang Arab Badwi yang datang menghadap kepada beliau tanpa
mengikat ontanya, dengan dasar tawakkal kepada Tuhan. Rasulullah menyanggah
perbuatan orang tersebut sambil bersabda: “Ikatlah dahulu ontamu barulah
bertawakkal”.
C.
KESIMPULAN
Perkembangan
tasawuf di Indonesia berkaitan erat dengan proses islamisasi di kawasan
Nusantara. Hal tersebut disebabkan karena sebagian besar penyebaran Islam di
Nusantara merupakan jasa para sufi.
Adapun
tokoh-tokoh sufi yang sangat berpengaruh di Indonesia adalah Hamzah Fansuri, al-Raniri, Abd. Rauf Sinkel,
Abd Shamad al-Palembani, Sheh Yusuf al-Makassari, Nawawi al-Bantani, dan Hamka.
Dari tokoh-tokoh tersebut di atas Islam di
Indonesia berkembang dan dapat di terima oleh masyarakat bangsa Indonesia,
walau tidak bisa di pungkiri ada perbedaan dan pertentangan di antara ajaran
seorang sufi yang satu dengan tokoh sufi yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
______. 1997. Ensiklopedia Islam. Jakarta :
Ichtiar Baru Van Hoeve.
Anwar, Rasihon. 2010. Akhlak Tasawu. Bandung:
Pustaka Setia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar