Jumat, 20 Januari 2017

MAKALAH “Macam-Macam Hidayah dalam Perspektif Tafsir”



MACAM-MACAM HIDAYAH DALAM PERSPEKTIF TAFSIR

A.      PENGERTIAN
       Kata bermakna petunjuk yang sering digunakan di dalam bahasa sehari-hari adalah al-hidayah. Tetapi Al-Qur’an tidak pernah sekalipun menggunakan kata tersebut. Kata yang digunakan adalah al-huda yang disebut 85 kali. Adapun kata kerja yang digunakan Al-Qur’an, ada dua bentuk yaitu :
1.         Hada-Yahdi yang berarti “memberi petunjuk, menunjukkan” dan bentuk-bentuk perubahannya,
2.         Ihtada-yahtadi, artinya mendapatkan petunjuk dan bentuk-bentuk perubahannya.

       Menurut Prof. Dr. M. Mutawalli asy-Sya’rawi bahwa kata al-hidayah dalam Al-Qur’an mempunyai dua arti yaitu :
Pertama; berarti sebagai petunjuk, dan ini diberikan kepada Allah secara umum, kafir atau muslim. Firman Allah SWT dalam QS. Fushshilat ayat 17. Ayat tersebut mengandung makna Kami menunjukkan kepada mereka jalan menuju kebenaran. Apakah mereka mau atau tidak itu terserah mereka.
Kedua; sebagai pertolongan (ma’unah) dan bimbingan kepada kebajikan; dan ini hanya diberikan kepada orang-orang yang menyambut baik seruan Allah, beriman kepada-Nya, percaya pada tuntunan-Nya dan patuh pada titah dan perintah-Nya.
        Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa hidayah umum diberikan Allah secara umum kepada siapa saja mukmin atau kafir. Melalui Al-Qur;an dan Rasul-Nya Allah SWT telah menjelaskan mana jalan kebaikan dan mana jalan keburukan. Soal jalan mana yang akan dipilih manusia, itu adalah pilihan mereka. Jika kemudian mau memilih beriman dan menjadi Islam maka dia berpeluang untuk mendapatkan hidayah khusus (terperinci) yang hanya dimiliki oleh Allah SWT dan hanya diberikan kepada mereka yang taat dan mau senantiasa memohon kepada-Nya.

B.       MACAM-MACAM HIDAYAH
       At-Thabathaba’i membagi hidayah Allah menjadi hidayah takwiniyyah dan hidayah tasyri’iyyah.
1.         Hidayah Takwiniyyah, ialah hidayah Allah yang berkaitan dengan urusan penciptaan. Hidayah ini diberikan kepada semua makhluk sesuai dengan spesiesnya masing-masing, seperti petunjuk kepada kesempurnaan atau perbuatan masing-masing jenis makhluk dan hal-hal yang telah ditentukan untuknya;
2.         Hidayah Tasyri’iyyah, ialah hidayah Allah yang berkaitan dengan usnsur-unsur syari’at, yakni petunjuk kepada akidah yang benar dan amar saleh.  
Sedang menurut Dr. Wahbah az-Zuhaili Allah SWT memberikan lima macam hidayah kepada manusia untuk mencapai kebahagiaan, yaitu:
1.         Hidayah al-ilham al-fithriy. Hidayah ilham yang bersifat fitri. Hidayah ini diberikan kepada anak sejak lahir. Misal anak merasa butuh untuk makan dan minum. Jika ia merasa lapar atau haus maka ia akan menangis minta makan dan minum kepada orang tuanya.
2.         Hidayah al-hawas. Hidayah indera, ini untuk melengkapi hidayah pertama. Hidayah ini dimiliki baik oleh manusia atau binatang. Bahkan yang ada pada binatang awalnya lebih sempurna dari pada manusia, sebab ilham pada binatang telah sempurna hanya beberapa saat setelah kelahirannya, sedang manusia menjadi sempurna secara bertahap.
3.         Hidayah al-aql. Hidayah intelektual. Hidayahnya ini tingkatannya lebih tinggi dari dua hidayah yang sudah ada. Manusia diciptakan secara alami sebagai makhluk madani untuk hidup bersama orang lain. Oleh karena dalam hidup bermasyarakat tidak cukup hanya berbekal indera lahir, namun diperlukan kemampuan intelektual yang berfungsi untuk mengarahkannya kepada berbagai jalan kehidupan, menjaganya dari kesalahan dan menyimpang, membetulkan kesalahan-kesalahan inderanya dan menyelamatkan dari tergelincir ke dalam arus hawa nafsu.
4.         Hidayah ad-din. Hidayah agama. Inilah hidayah yang tidak mungkin keliru dan sumber yang tidak mungkin sesat. Akal kadang keliru dan nafsu tergelincir karena syahwat sehingga menjerumuskan ke dalam kebinasaan. Oleh sebab itu manusia memerlukan sesuatu yang meluruskan, membimbing dan menunjukkan yang tidak dipengaruhi oleh hawa nafsu. Maka ia perlu dibantu dan ditolong dengan hidayah agama guna membimbingnya ke jalan yang paling lurus baik setelah atau sebelum terjerumus ke dalam kesalahan. Hidayah ini selalu menjadi penjaga terpercaya tempat bernaung manusia dalam membekali dirinya dengan kunci-kunci penutup keburukan sehingga ia selamat dari tergelincir dan dijamin keselamatannya. Hidayah ini juga berisi tentang informasi tentang batasan-batasan yang wajib baginya kepada kekuasaan Allah yang mana ia tunduk kepada-Nya dalam relung jiwanya yang paling dalam dan merasa sangat butuh kepada Pemilik kekuasaan itu, Zat yang telah menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan) dirinya serta menganugerahinya dengan berbagai kenikmatan lahir dan batin yang tidak terhitung banyaknya. Oleh karena itu hidayah ini adalah hidayah yang paling dibutuhkan manusia guna mewujudkan kebahagiaannya.
Ayat yang mengisyaratkan jenis hidayah ini antara lain:
وَهَدَيْنَهُ النَّجْدَيْنِ (البلد ١٠ )
Artinya : “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan””.
(QS. Al-Balad : 10)
       Maksudnya Kami telah menjelaskan (sifat dan ciri-ciri) jalan kebaikan dan jalan keburukan, jalan kebahagiaan dan jalan kesengsaraan.
5.         Hidayah al-maunah wa at-taufiq. Hidayah pertolongan untuk menempuh jalan kebajikan dan keselamatan. Hidayah ini lebih spesifik dari hidayah agama. Hidayah ini yang diperintahkan oleh Allah SWT agar selalu kita mohon dalam firman-Nya :
اِهْدِنَاالصِّرَطَ الْمُسْتَقِيْمَ (الفاتحة : ٦ )
Artinya : “Tunjukilah kami jalan yang lurus”.  (QS. Al-Fatihah: 6)
       Maksudnya: “Berilah kami petunjuk yang dibarengi pertolongan dari hadirat-Mu, petunjuk yang menjaga kami dari kesesatan dan kesalahan.

       Ringkasnya, hidayah di dalam Al-Qur’an itu ada dua macam, yaitu :
1.         Hidayah Umum (hidayah ‘ammah)
“Petunjuk pada kemaslahatan-kemaslahatan para hamba di tempat kembalinya (kelak)”. Ini mencakup hidayah pertama sampai ke empat.
2.         Hidayah Khusus (hidayah khashashah)
“Pertolongan dan bimbingan untuk menempuh jalan kebajikan dan kemaslahatan, yang menyertai (hidayah) petunjuk di atas”. Ini hidayah ke lima.



C.      SELALU MEMOHON HIDAYAH JALAN YANG LURUS
       Jika seseorang telah memilih Islam sebagai agamanya, artinya ia telah mendapat hidayah umum dari Allah SWT. Namun bukan berarti ia mendapat jaminan hidayah khusus. Hal ini bisa terjadi jika ia tidak mampu menjaga hidayah umum, bahkan bisa lepas hidayah umum tersebut karena lemah iman dan tidak ada upaya mempertahankan dan menumbuhkannya.
       Adapun cara mempertahankan dan menumbuhkan hidayah umum adalah dengan taat kepada Allah SWT dan rasul-Nya serta selalu memohon kepada-Nya agar diberi bimbingan dan pertolongan untuk selalu berada pada jalan yang lurus hingga akkhir hayat. Firman Allah SWT :

Artinya : “Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”. (QS. Al-Fatihah : 6-7)
Maksud dari ayat tersebut adalah hidayah yang diminta bukanlah hidayah umum (Islam) melainkan hidayah khusus, yaitu bimbingan dan pertolongan Allah SWT agar diri kita selalu diberi keteguhan iman dan sikap konsisten dalam melaksanakan ajaran Islam hingga akhir hayat.


D.      ISLAM : ANTARA HIDAYAH DAN IKHTIAR MANUSIA
       Sebuah pertanyaan mendasar, apakah orang masuk Islam (beragama Islam) adalah kehendak sendiri atau merupakan hidayah dari Allah SWT?
       Jika dikaji kembali ayat pokok di muka, kita mendapatkan bahwa makna tekstual QS. Ali Imran: 20 menunjukkan adanya ikhtiar manusia untuk memilih Islam atau berpaling darinya, sedangkan makna  tekstual QS. Al-An’am: 125 menunjukkan bahwa masalah manusia memperoleh petunjuk atau kesesatan itu adalah kehendak Allah.
       Jika kita kembali kepada rukun iman maka rukun yang terakhir adalah beriman pada takdir baik dan buruk. Ini mengandung pengertian bahwa pada hakikatnya kebaikan dan keburukan memang ditakdirkan adanya oleh Allah SWT sejak zaman azali. Perbedaannya adalah :
1.         Kebaikan itu ditakdirkan adanya dan dikehendaki Allah untuk dipilih manusia sebagai jalan hidupnya, sedangkan keburukan ditakdirkan adanya tetapi tidak dikehendaki untuk dikerjakan manusia;
2.         Kebaikan bersumber langsung kepada Allah SWT, sedangkan keburukan bersumber langsung dari Iblis dan hawa nafsu yang juga ditakdirkan adanya.
       Sebagai konsekuensi dari takdir baik dan takdir buruk, di satu sisi Allah meletakkan fitrah-Nya (tauhid, kebaikan dan kebenaran) pada diri manusia, dan sisi lain Allah menciptakan nafsu yang cenderung pada keburukan dan kejahatan. Allah juga menciptakan Ilham negatif dan ilham positif (taqwa) kepada jiwa manusia. Yang artinya manusia memiliki potensi untuk menjadi baik atau menjadi buruk. Agar manusia dapat membedakan yang baik dan buruk maka manusia diberi akal dan sebagai terminal adalah hati.
       Ayat-ayat Al-Qur’an yang membicarakan tentang kehendak Ilahi dapat dibedakan kedalam dua kehendak yaitu :
1.         Kehendak absolut dan paksaan; yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan yang tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah SWT sendiri. Misalnya tentang penciptaan makhluk-Nya.
2.         Kehendak Ilahi kedua; yaitu besertanya Allah menjadikan pilihan, penyerahan, pemberian kekuasaan kepada manusia sebagai khalifah-Nya. Kehendak itu tidak berupa absolut, misal tentang iman dan taat manusia, menjauhi kekufuran, kefasikan dan perbuatan maksiat. Ini dilakukan dengan kehendak yang disertai pilihan, penyerahan dan pemberian kekuasaan.
Yang tidak benar adalah jika memutlakkan kehendak Ilahi dan menafikan ikhtiar manusia yang  oleh Allah sendiri ditakdirkan adanya. Dan apa jadinya jika yang dimutlakkan adalah ikhtiar manusia maka hanya akan membuat manusia sombong dan merasa serba bisa dan kuasa dan membatasi Kemahakuasaan Allah.





E.       PERINGATAN TENTANG QADHA DAN QADAR
       Kesalahan memahami takdir dapat berakibat fatal bagi manusia, menyebabkan tergelincirnya aqidah yang salah.  Kekeliruan umum bahwa segala sesuatu baik-buruk, bahagia-sengsara, kaya-miskin, dan sebagainya telah ditetapkan secara pasti. Jadi ibarat manusia hanya seperti robot atau wayang yang menerima apa adanya.
       Oleh karena itu, dalam memahami pengertian takdir harus dilandasi iman dan ilmu. Jika dimaknai secara sepintas maka akan mendimbulkan pertanyaan, “Dimana keadilan Tuhan?” Masalah ini yang menjadi topik di masa Mutakallimin yaitu golongan Murji’ah, jabariah, Qadariah, Mu’tazilah dan Asy’ariah.
       Telah menjadi sunnatullah bahwa di dunia ini ada sebab dan akibat. Manusia hendaklah senantiasa berikhtiar, sebab manusia tidak tahu apa yang akan terjadi. Ikhtiar adalah bekerja sekuat tenaga dan ditopang oleh doa, penyerahan ikhtiar kepada Allah menjadi tawakal.














KESIMPULAN

        Kata bermakna petunjuk yang sering digunakan di dalam bahasa sehari-hari adalah al-hidayah. Hidayah di dalam Al-Qur’an itu ada dua macam, yaitu : Hidayah Umum (hidayah ‘ammah) “Petunjuk pada kemaslahatan-kemaslahatan para hamba di tempat kembalinya (kelak)”. Dan hidayah khusus (hidayah khashashah) “Pertolongan dan bimbingan untuk menempuh jalan kebajikan dan kemaslahatan, yang menyertai (hidayah) petunjuk di atas”. Hidayah umum diberikan Allah secara umum kepada siapa saja mukmin atau kafir. Melalui Al-Qur;an dan Rasul-Nya Allah SWT telah menjelaskan mana jalan kebaikan dan mana jalan keburukan. Soal jalan mana yang akan dipilih manusia, itu adalah pilihan mereka. Jika kemudian mau memilih beriman dan menjadi Islam maka dia berpeluang untuk mendapatkan hidayah khusus (terperinci) yang hanya dimiliki oleh Allah SWT dan hanya diberikan kepada mereka yang taat dan mau senantiasa memohon kepada-Nya.



















DAFTAR PUSTAKA

-          Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahan. Jakarta : PT Bumi Restu. 1976
-          Tim Sembilan. Tafsir Maudhu’i: Al-Muntaha Jilid I. Wonosobo: Pustaka Pesantren. 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar