MU’TAZILAH DAN DOKTRIN-DOKTRINNYA
A. LATAR BELAKANG BERDIRINYA MU’TAZILAH
Mu’tazilah sering disebut sebagai aliran rasionalis Islam,
hal ini dikarenakan aliran ini menggunakan pandangan teologisnya lebih banyak
ditunjang oleh dalil-dalil ‘aqliah (akal) dan lebih bersifat filosofis.
Mu’tazilah didirikan oleh Wasil bin ‘Ata’ pada tahun 100 H / 718 M.[1]
Uraian yang sering disebut dalam buku-buku ilmu kalam
berpusat pada peristiwa antara Wasil bin ‘Ata’ dengan gurunya Hasan al-Basri di
masjid Basrah. Pada suatu hari ada seseorang bertanya pada Hasan al-Basri
mengenai seorang mukmin yang melakukan dosa besar. Menurut orang Khowarij
seorang muslim jika melakukan dosa besar maka ia telah menjadi kafir. Sedang
kaum Murjiah tetap menganggap pelaku dosa besar tersebut tetap menjadi seorang
mukmin. Disaat Hasan al-Basri masih berfikir, Wasil bin ‘Ata’ mendahului
gurunya dengan mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin pelaku dosa besar menempati posisi diantara mukmin dan kafir.
Tegasnya orang tersebut bukan mukmin dan bukan juga kafir. Karena di akherat
tidak ada tempat di antara surga dan neraka maka orang tersebut dimasukkan ke
dalam neraka tetapi siksaannya lebih ringan dari siksaan orang kafir. Kemudian
ia berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan al-Basri ke tempat lain di masjid
tersebut dan mengulangi lagi pernyataannya itu. Atas peristiwa itu Hasan
al-Basri mengatakan “I’tazala’anna Wasil” (Wasil menjauhkan diri dari kita)[2].
Menurut Syahrastani kata I’tazala’anna tersebut yang menandai lahirnya
Mu’tazilah yang artinya orang yang memisahkan diri.
Selain nama Mu’tazilah, pengikut aliran ini juga sering
disebut kelompok Ahl-Atauhid (golongan pembela tauhid), Ahl-al-’Adl (pendukung
keadilan Tuhan) dan kelompok Qadariah. Sedang pihak lawan (Khowarij dan
Murjiah) menjuluki golongan ini dengan Free Will dan Free Act, karena mereka
menganut prinsip bebas berkehendak dan berbuat.
B. PERKEMBANGAN ALIRAN MU’TAZILAH
Pada awal
perkembangannya, aliran ini tidak mendapat simpati umat Islam. Karena mereka
sulit memahami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofi
itu. Alasan lain karena kaum Mu’tazilah dianggap tidak teguh berpegang pada
sunah Rasulullah SAW dan para sahabat.
Kelompok
ini baru mendapat dukungan yang luas pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun,
penguasa Abasyiah (198-218 H / 813-833). Kedudukan Mu’tazilah menjadi semakin
kokoh setelah al-Ma’mun menjadikannya sebagai mahzab resmi Negara. Hal ini
disebabkan karena al-Ma’mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar
akan ilmu pengetahuan dan filsafat.
Karena
mendapat dukungan dari pemerintah, kaum Mu’tazilah memaksakan ajarannya kepada
kelompok lain yang dikenal dengan peristiwa mihnah (inquisition). Mihnah itu
timbul sehubungan dengan pendapat mereka bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT.
Kalam adalah terdiri dari huruf, suara dan tulisan mushaf dan dapat ditiru
bunyinya[3].
Al-Qur’an itu makhluk, dalam arti ciptaan Tuhan. Karena diciptakan maka itu
sesuatu yang baru, jadi tidak qadim. Jika dikatakan Al-Qur’an itu qadim maka
kesimpulannya ada yang qadim selain Allah SWT dan itu musyrik hukumnya.
Khalifah
al-Ma’mun menginstruksikan agar diadakan mengujian terhadap aparat
pemerintahannya (mihnah) tentang keyakinan mereka akan paham ini. Dalam
pelaksanaanya bukan hanya aparat pemerintahan tetapi juga tokoh-tokoh
masyarakat. Sejarah mencatat banyak tokoh yang menjadi korban, salah satunya
adalah Imam Hambali. Peristiwa ini berakhir pada saat kepemimpinan
al-Mutawakkil (memerintah 232-247 H/ 842-847 M).
Di masa
al-Mutawakkil dominasi Mu’tazilah menurun dan tidak mendapat simpati dari
masyarakat. Hal ini semakin buruk setelah al-Mutawakkil membatalkan mazhab
Mu’tazilah menjadi mazhab Asy’ariah.
Pada
perkembangannya, Mu’tazilah sempat muncul kembali pada Dinasti Buwaihi di
Baghdad. Namun tidak lama karena segera gulingkan oleh Bani Seljuk yang
cenderung ke Asy’ariah.
C. DOKTRIN MU’TAZILAH
Doktrin
Mu’tazilah dikenal dalam lima ajaran pokok atau al-Uhsul al-Khomsyah. Al-Uhsul
al-Khomsyah, menurut pemuka-pemuka Mu’tazilah diberi urutan menurut pentingnya
kedudukan tiap dasar, yakni at-Tauhid, al-‘Adl, al-Wa’ad wa al-Wa’id,
al-Manzilah bain al-Manzilatain dan al-al-‘Amr bi al-ma’ruf wa al-Nahy’an
al-Mungkar [4].
1.
At-Tauhid
Ajaran
pertama Mu’tazilah ini artinya meyakini sepenuhnya hanya Allah SWT yang Maha
Esa. Dia merupakan zat yang unik, tidak ada yang serupa dengan-Nya. Mereka
menganggap konsep tauhid ini yang paling murni sehingga mereka senang disebut
Ahl at-Tauhid (pembela tauhid). Dalam mempertahankan paham keesaan Allah SWT,
mereka menafikan segala sifat, sehingga mereka sering disebut Nafy as-Sifat.
Yang merka maksud dengan peniadaan sifat yaitu bahwa Tuhan tidak mempunyai
sifat yang berdiri di luar Zat-Nya, karena itu akan membawa pada yang qadim
selain Tuhan. Kaum Mu’tazilah enggan mengakui adanya sifat Tuhan dalam
pengertian sesuatu yang melekat pada Zat Tuhan. Jika Tuhan dikatakan Maha
Mengetahui maka itu bukan sifat-Nya tapi Zat-Nya.
Selanjutnya,
konsep tauhid Mu’tazilah ini membawa pada penolakan paham antropomorfisme.
Tuhan bagi mereka tidak boleh dipersamakan dengan makhluk-Nya seperti tangan
dan muka. Karena itu ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat harus
ditakwilkan sedemikian rupa. Oleh sebab itu, mereka juga menolak pendapat bahwa
Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti.
2.
Al-‘Adl (Keadilan Tuhan)
Paham
keadilan Tuhan membawa pengertian bahwa Tuhan wajib berlaku adil dan mustahil
Dia berbuat zalim pada hamba-Nya. Dari sini timbul ajaran as-salah wa al-aslah.
Maksudnya Tuhan wajib berbuat baik pada manusia bahkan yang terbaik diantaranya
Tuhan tidak boleh member beban yang berat pada manusia, Tuhan wajib mengirim
rasul-rasul dan nabi-nabi untuk menuntun kehidupan manusia di muka bumi, dan
Tuhan wajib memberikan daya pada manusia agar ia dapat mewujudkan
perbuatan-perbuatannya.
3.
Al-Wa’d wa Al-Wa’id ( janji dan ancaman)
Menurut
mereka Tuhan wajib menepati janji-Nya memasukkan orang mukmin ke dalam surga
dan menepati ancaman-Nya memasukkan orang kafir ke dalam neraka. Meskipun Tuhan
bisa memasukkan orang yang berdosa besar ke dalam surga dan menjerumuskan orang
mukmin ke dalam neraka, namun mustahil bagi Tuhan karena bertentangan dengan
keadilan-Nya. Paham ini berkaitan erat dengan paham bahwa manusia sendiri yang
mewujudkan perbuatan-perbuatannya melalui daya yang diciptakan Tuhan dalam
dirinya. Oleh karena itu manusia bertanggung jawab penuh atas perbuatannya.
Jika manusia memilih beriman dan berbuat baik maka dijanjikan masuk surga dan
manusia yang ingkar dan berbuat dosa Tuhan mengancamnya denga neraka.
4.
Al-Manzilah Bain al-Manzilatain (posisi diantara dua
posisi)
Paham ini
merupakan ajaran dasar pertama yang
lahir di kalangan Mu’tazilah. Paham ini timbul setelah terjadi peristiwa antara
Wasil bin ‘Ata’ dengan gurunya Hasan al-Basri di Basra. Bagi Mu’tazilah, orang
yang berdosa besar bukan termasuk kafir dan bukan pula mukmin, melainkan berada
di keduanya, menempati antara mukmin dan kafir yang disebut fasik. Jika
orang-orang yang mendapat predikat fasik tidak melakukan tobat sebelum
meninggal, maka mereka akan dicampakkan ke dalam neraka dan akan kekal di
dalamnya, hanya saja siksaan yang mereka peroleh lebih ringan dibandingkan
siksaan orang kafir.
5.
Al-Amr bi al-Ma’ruf wa an-Nahy ‘an al-Munkar (perintah
agar mengerjakan kebajikan dan melarang kemungkaran)
Dalam
prinsip mu’tazilah, setiap muslim wajib menegakkan perbuatan yang baik dan
menjauhi segala yang mungkar. Berpegang pada ajaran ini, kaum Mu’tazilah dalam
sejarah pernah melakukan pemaksaan ajaran kepada golongan lain yang dikenal
dengan peristiwa mihnah, yaitu memaksakan pendapatnya bahwa Al-Qur’an itu
adalah ciptaan Tuhan. Mereka yang menentang pendapat ini wajib dihukum.
Demikian cara mereka menegakkan Al-Amr bi al-Ma’ruf wa an-Nahy ‘an al-Munkar.
D. SEKTE-SEKTE DALAM MU’TAZILAH
Dalam
perkembangannya, Mu’tazilah terdapat beberapa sekte [5].
1.
Al-Washiliyyah
2.
Al-Huzailiyyah
3.
An-Nazhzhamiyyah
4.
Al-Khabithiyyah dan Al-Haditsiyyah
5.
Al-Bisyariyyah
6.
Al-Mu’ammariyyah
7.
Al-Mardariyyah
8.
Ats-Tsumamah
9.
Hisyamiyyah
10. Al-Jahizhiyyah
11. Al-Khayyathiyyah
dan Al-Ka’biyyah
12. Al-Juba’iyyah
dan Al-Bahsyaniyyah
Dari sumber lain mengatakan bahwa
aliran Mu'tazilah dibagi menjadi 2, yaitu aliran Mu'tazilah Bashrah dan aliran
Mu'tazilah Baghdad. Aliran Bashrah antara lain : Washil bin Atha', Al-Allaf,
An-Nazzam dan Al-Jubbai. Aliran Baghdad antara lain : Bisyr bin Al-Mu'tamir dan
Al-Khayyat [6].
E.
KESIMPULAN
Sejarah umat Islam tidak mengenal
pembahasan yang bercorak filsafat dan lengkap tentang tuhan, sifat-sifat dan
perbuatannya, dengan disertai dalil-dalil akal pikiran dan alasan-alasan naqal
sebelum lahir aliran mu’tazilah. Mereka telah melepaskan akal sebebas-bebasnya
dalam membahas semua persoalan tanpa mengenal batas.
Kegiatan orang-orang mu’tazilah baru
hilang sama sekali setelah terjadi serangan orang-orang Mongolia atas dunia
islam. Meskipun demikian, paham dan ajaran aliran mu’tazilah yang penting masih
hidup sampai sekarang dikalangan Syiah Zaidiah.
[1] Ensiklopedia Islam, Jakarta ; Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997. Jilid 3
hal. 290
[2] Harun Nasution, Teologi Islam
Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan hal. 38
[3] As-Syarastani, Al-Milal wa
Al-Nihal ; alih bahasa Prof. Asywadie Syukur, LC hal. 38
[4] Harun Nasution, Teologi Islam
Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan hal. 52
[5] As-Syarastani, Al-Milal wa
Al-Nihal ; alih bahasa Prof. Asywadie Syukur, LC hal. 40
[6] Ensiklopedia Islam, Jakarta ; Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997. Jilid 3
hal. 293
thank ya
BalasHapusngebantu bgt
sama"..
BalasHapuslanjutkan \ smoga sukses!!!