Kamis, 05 April 2012

MU'TAZILAH


MU’TAZILAH DAN DOKTRIN-DOKTRINNYA


A.     LATAR BELAKANG BERDIRINYA MU’TAZILAH
Mu’tazilah sering disebut sebagai aliran rasionalis Islam, hal ini dikarenakan aliran ini menggunakan pandangan teologisnya lebih banyak ditunjang oleh dalil-dalil ‘aqliah (akal) dan lebih bersifat filosofis. Mu’tazilah didirikan oleh Wasil bin ‘Ata’ pada tahun 100 H / 718 M.[1]
Uraian yang sering disebut dalam buku-buku ilmu kalam berpusat pada peristiwa antara Wasil bin ‘Ata’ dengan gurunya Hasan al-Basri di masjid Basrah. Pada suatu hari ada seseorang bertanya pada Hasan al-Basri mengenai seorang mukmin yang melakukan dosa besar. Menurut orang Khowarij seorang muslim jika melakukan dosa besar maka ia telah menjadi kafir. Sedang kaum Murjiah tetap menganggap pelaku dosa besar tersebut tetap menjadi seorang mukmin. Disaat Hasan al-Basri masih berfikir, Wasil bin ‘Ata’ mendahului gurunya dengan mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin pelaku dosa besar  menempati posisi diantara mukmin dan kafir. Tegasnya orang tersebut bukan mukmin dan bukan juga kafir. Karena di akherat tidak ada tempat di antara surga dan neraka maka orang tersebut dimasukkan ke dalam neraka tetapi siksaannya lebih ringan dari siksaan orang kafir. Kemudian ia berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan al-Basri ke tempat lain di masjid tersebut dan mengulangi lagi pernyataannya itu. Atas peristiwa itu Hasan al-Basri mengatakan “I’tazala’anna Wasil” (Wasil menjauhkan diri dari kita)[2]. Menurut Syahrastani kata I’tazala’anna tersebut yang menandai lahirnya Mu’tazilah yang artinya orang yang memisahkan diri.
Selain nama Mu’tazilah, pengikut aliran ini juga sering disebut kelompok Ahl-Atauhid (golongan pembela tauhid), Ahl-al-’Adl (pendukung keadilan Tuhan) dan kelompok Qadariah. Sedang pihak lawan (Khowarij dan Murjiah) menjuluki golongan ini dengan Free Will dan Free Act, karena mereka menganut prinsip bebas berkehendak dan berbuat.

B.      PERKEMBANGAN ALIRAN MU’TAZILAH
Pada awal perkembangannya, aliran ini tidak mendapat simpati umat Islam. Karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofi itu. Alasan lain karena kaum Mu’tazilah dianggap tidak teguh berpegang pada sunah Rasulullah SAW dan para sahabat.
Kelompok ini baru mendapat dukungan yang luas pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun, penguasa Abasyiah (198-218 H / 813-833). Kedudukan Mu’tazilah menjadi semakin kokoh setelah al-Ma’mun menjadikannya sebagai mahzab resmi Negara. Hal ini disebabkan karena al-Ma’mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan ilmu pengetahuan dan filsafat.
Karena mendapat dukungan dari pemerintah, kaum Mu’tazilah memaksakan ajarannya kepada kelompok lain yang dikenal dengan peristiwa mihnah (inquisition). Mihnah itu timbul sehubungan dengan pendapat mereka bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT. Kalam adalah terdiri dari huruf, suara dan tulisan mushaf dan dapat ditiru bunyinya[3]. Al-Qur’an itu makhluk, dalam arti ciptaan Tuhan. Karena diciptakan maka itu sesuatu yang baru, jadi tidak qadim. Jika dikatakan Al-Qur’an itu qadim maka kesimpulannya ada yang qadim selain Allah SWT dan itu musyrik hukumnya.
Khalifah al-Ma’mun menginstruksikan agar diadakan mengujian terhadap aparat pemerintahannya (mihnah) tentang keyakinan mereka akan paham ini. Dalam pelaksanaanya bukan hanya aparat pemerintahan tetapi juga tokoh-tokoh masyarakat. Sejarah mencatat banyak tokoh yang menjadi korban, salah satunya adalah Imam Hambali. Peristiwa ini berakhir pada saat kepemimpinan al-Mutawakkil (memerintah 232-247 H/ 842-847 M).
Di masa al-Mutawakkil dominasi Mu’tazilah menurun dan tidak mendapat simpati dari masyarakat. Hal ini semakin buruk setelah al-Mutawakkil membatalkan mazhab Mu’tazilah menjadi mazhab Asy’ariah.
Pada perkembangannya, Mu’tazilah sempat muncul kembali pada Dinasti Buwaihi di Baghdad. Namun tidak lama karena segera gulingkan oleh Bani Seljuk yang cenderung ke Asy’ariah.

C.      DOKTRIN MU’TAZILAH
Doktrin Mu’tazilah dikenal dalam lima ajaran pokok atau al-Uhsul al-Khomsyah. Al-Uhsul al-Khomsyah, menurut pemuka-pemuka Mu’tazilah diberi urutan menurut pentingnya kedudukan tiap dasar, yakni at-Tauhid, al-‘Adl, al-Wa’ad wa al-Wa’id, al-Manzilah bain al-Manzilatain dan al-al-‘Amr bi al-ma’ruf wa al-Nahy’an al-Mungkar [4].
1.      At-Tauhid
Ajaran pertama Mu’tazilah ini artinya meyakini sepenuhnya hanya Allah SWT yang Maha Esa. Dia merupakan zat yang unik, tidak ada yang serupa dengan-Nya. Mereka menganggap konsep tauhid ini yang paling murni sehingga mereka senang disebut Ahl at-Tauhid (pembela tauhid). Dalam mempertahankan paham keesaan Allah SWT, mereka menafikan segala sifat, sehingga mereka sering disebut Nafy as-Sifat. Yang merka maksud dengan peniadaan sifat yaitu bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat yang berdiri di luar Zat-Nya, karena itu akan membawa pada yang qadim selain Tuhan. Kaum Mu’tazilah enggan mengakui adanya sifat Tuhan dalam pengertian sesuatu yang melekat pada Zat Tuhan. Jika Tuhan dikatakan Maha Mengetahui maka itu bukan sifat-Nya tapi Zat-Nya.
Selanjutnya, konsep tauhid Mu’tazilah ini membawa pada penolakan paham antropomorfisme. Tuhan bagi mereka tidak boleh dipersamakan dengan makhluk-Nya seperti tangan dan muka. Karena itu ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat harus ditakwilkan sedemikian rupa. Oleh sebab itu, mereka juga menolak pendapat bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti.
2.      Al-‘Adl (Keadilan Tuhan)
Paham keadilan Tuhan membawa pengertian bahwa Tuhan wajib berlaku adil dan mustahil Dia berbuat zalim pada hamba-Nya. Dari sini timbul ajaran as-salah wa al-aslah. Maksudnya Tuhan wajib berbuat baik pada manusia bahkan yang terbaik diantaranya Tuhan tidak boleh member beban yang berat pada manusia, Tuhan wajib mengirim rasul-rasul dan nabi-nabi untuk menuntun kehidupan manusia di muka bumi, dan Tuhan wajib memberikan daya pada manusia agar ia dapat mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
3.      Al-Wa’d wa Al-Wa’id ( janji dan ancaman)
Menurut mereka Tuhan wajib menepati janji-Nya memasukkan orang mukmin ke dalam surga dan menepati ancaman-Nya memasukkan orang kafir ke dalam neraka. Meskipun Tuhan bisa memasukkan orang yang berdosa besar ke dalam surga dan menjerumuskan orang mukmin ke dalam neraka, namun mustahil bagi Tuhan karena bertentangan dengan keadilan-Nya. Paham ini berkaitan erat dengan paham bahwa manusia sendiri yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya melalui daya yang diciptakan Tuhan dalam dirinya. Oleh karena itu manusia bertanggung jawab penuh atas perbuatannya. Jika manusia memilih beriman dan berbuat baik maka dijanjikan masuk surga dan manusia yang ingkar dan berbuat dosa Tuhan mengancamnya denga neraka.
4.      Al-Manzilah Bain al-Manzilatain (posisi diantara dua posisi)
Paham ini merupakan ajaran dasar  pertama yang lahir di kalangan Mu’tazilah. Paham ini timbul setelah terjadi peristiwa antara Wasil bin ‘Ata’ dengan gurunya Hasan al-Basri di Basra. Bagi Mu’tazilah, orang yang berdosa besar bukan termasuk kafir dan bukan pula mukmin, melainkan berada di keduanya, menempati antara mukmin dan kafir yang disebut fasik. Jika orang-orang yang mendapat predikat fasik tidak melakukan tobat sebelum meninggal, maka mereka akan dicampakkan ke dalam neraka dan akan kekal di dalamnya, hanya saja siksaan yang mereka peroleh lebih ringan dibandingkan siksaan orang kafir.
5.      Al-Amr bi al-Ma’ruf wa an-Nahy ‘an al-Munkar (perintah agar mengerjakan kebajikan dan melarang kemungkaran)
Dalam prinsip mu’tazilah, setiap muslim wajib menegakkan perbuatan yang baik dan menjauhi segala yang mungkar. Berpegang pada ajaran ini, kaum Mu’tazilah dalam sejarah pernah melakukan pemaksaan ajaran kepada golongan lain yang dikenal dengan peristiwa mihnah, yaitu memaksakan pendapatnya bahwa Al-Qur’an itu adalah ciptaan Tuhan. Mereka yang menentang pendapat ini wajib dihukum. Demikian cara mereka menegakkan Al-Amr bi al-Ma’ruf wa an-Nahy ‘an al-Munkar.

D.     SEKTE-SEKTE DALAM MU’TAZILAH
Dalam perkembangannya, Mu’tazilah terdapat beberapa sekte [5].
1.      Al-Washiliyyah
2.      Al-Huzailiyyah
3.      An-Nazhzhamiyyah
4.      Al-Khabithiyyah dan Al-Haditsiyyah
5.      Al-Bisyariyyah
6.      Al-Mu’ammariyyah
7.      Al-Mardariyyah
8.      Ats-Tsumamah
9.      Hisyamiyyah
10.  Al-Jahizhiyyah
11.  Al-Khayyathiyyah dan Al-Ka’biyyah
12.  Al-Juba’iyyah dan Al-Bahsyaniyyah
Dari sumber lain mengatakan bahwa aliran Mu'tazilah dibagi menjadi 2, yaitu aliran Mu'tazilah Bashrah dan aliran Mu'tazilah Baghdad. Aliran Bashrah antara lain : Washil bin Atha', Al-Allaf, An-Nazzam dan Al-Jubbai. Aliran Baghdad antara lain : Bisyr bin Al-Mu'tamir dan Al-Khayyat [6].


E.      KESIMPULAN
Sejarah umat Islam tidak mengenal pembahasan yang bercorak filsafat dan lengkap tentang tuhan, sifat-sifat dan perbuatannya, dengan disertai dalil-dalil akal pikiran dan alasan-alasan naqal sebelum lahir aliran mu’tazilah. Mereka telah melepaskan akal sebebas-bebasnya dalam membahas semua persoalan tanpa mengenal batas.
Kegiatan orang-orang mu’tazilah baru hilang sama sekali setelah terjadi serangan orang-orang Mongolia atas dunia islam. Meskipun demikian, paham dan ajaran aliran mu’tazilah yang penting masih hidup sampai sekarang dikalangan Syiah Zaidiah.


[1] Ensiklopedia Islam, Jakarta ; Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997. Jilid 3 hal. 290
[2] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan hal. 38
[3] As-Syarastani, Al-Milal wa Al-Nihal ; alih bahasa Prof. Asywadie Syukur, LC hal. 38
[4] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan hal. 52
[5] As-Syarastani, Al-Milal wa Al-Nihal ; alih bahasa Prof. Asywadie Syukur, LC hal. 40
[6] Ensiklopedia Islam, Jakarta ; Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997. Jilid 3 hal. 293

2 komentar: